Tahun 2018, Sektor Automotif Melesat
A
A
A
JAKARTA - Industri automotif pada 2018 di prediksi melesat. Posisinya bahkan menjadi tulang punggung pemerintah dalam mewujudkan target pertumbuhan industri sebesar 5,67% bersama dengan sektor industri elektronik, kimia farmasi, serta makanan dan minuman.
Kalangan pelaku industri automotif pun optimistis menyambut tahun 2018. Hanya saja mereka masih membutuhkan dukungan pemerintah dalam hal regulasi yang mampu mendorong pertumbuhan dan peningkatan pasar mobil, terutama sedan yang selama ini terkendala luxury tax. Pemerintah sendiri berkomitmen menghilangkan sejumlah hambatan, meningkatkan daya saing, mendorong inovasi, dan sejumlah langkah lain yang diperlukan.
Berdasar data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil pada 2017 diperkirakan tidak berbeda jauh dengan penjualan 2016, yakni pada kisaran 1,05 juta hingga 1,06 juta. Sebelumnya penjualan 2016 menunjukkan kenaikan 4,5% dari 2015. Pada 2018, pemerintah menarget penjualan automotif mencapai 1,1 juta-1,2 juta unit.
Menggeliatnya sektor industri automotif dan sektor industri lainnya secara keseluruhan sangat penting karena industri memberikan sumbangan terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 20%. Jika digabung dengan industri turunannya, kontribusinya bisa mencapai lebih dari 30%.
Sementara dari sisi penyerapan tenaga kerja ada per tumbuhan mendekati 1,5 juta orang yang terjadi pada 2016-2017. ”Kita melihat kalau ham bat annya dikurangi, tekstil, alas kaki juga akan naik,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta.
Untuk mewujudkan harapan tersebut, pemerintah akan mendorong sektor-sektor tersebut agar bisa mencapai target pertumbuhan industri tahun depan.
Selain itu pihaknya akan mendorong industri yang memiliki daya saing di pasar global, diantaranya industri automotif dengan menggandeng industri terkait dari Jepang dan Korea Selatan.
Menurut Airlangga, sejauh ini masih terdapat beberapa hambatan yang perlu diantisipasi tahun depan, salah satunya penetapan tarif bea masuk di beberapa negara untuk produk-produk dari Indonesia.
Hambatan tarif tersebut masih terjadi karena sejumlah kemitraan kerja sama ekonomi belum rampung disepakati, di antaranya dengan Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. ”Kalau perundingannya sudah selesai, semua akan naik, termasuk tekstil dan alas kaki,” jelasnya.
Dalam jangka panjang, Ketua Umum DPP Partai Golkar itu memandang perlunya mendorong industri dalam negeri untuk berinovasi sehingga mampu bersaing di kancah global. Sejalan dengan itu, dalam jangka menengah, Kemenperin tengah mempersiapkan sumber daya manusia sektor industri yang terhubung dan sesuai atau link and match antara pendidikan vokasi dan industri.
Sebelumnya Kemenperin juga terus berupaya menyelesaikan sejumlah ”pekerjaan rumah” yang ditargetkan rampung pada akhir tahun ini. Terutama terkait dengan koordinasi bersama kementerian lain seperti mengenai kebijakan pemberian insentif fiskal bagi industri.
”Di sektor automotif kami sedang mendorong pengembangan kendaraan low cost emission carbon, termasuk didalamnya mobil berbasis listrik dan hibrida. Program ini dijalankan agar Indonesia ikut berperan da lam pengembangan industri yang ramah lingkungan,” tuturnya.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengakui terdapat sejumlah sektor industri yang diprediksi akan melesat pada 2018 mendatang. Menurut dia, sektor tersebut harus digenjot kreditnya pada tahun depan.
”Ada beberapa sektor yang bagus, misalnya makanan dan minuman, chemical botanical seperti jamu dan farmasi, lalu optik, komputer, dan elektrik, equipment dan transportasi, ini yang harus didorong kreditnya,” kata Faisal di Jakarta kemarin.
Dia menyatakan, sepanjang 2018 industri bisa saja tumbuh sesuai dengan target pemerintah, yaitu di angka 5,67%, asalkan tidak terdapat sejumlah gangguan.
Terutama industri makanan dan minuman yang menurutnya ber kontribusi paling besar ke industri manufaktur nonmigas, yaitu sebesar 33,4%. ”Kalau makanan dan minuman tidak diganggu oleh lelang, pertumbuhannya bisa 8%, jika dikalikan 30 sudah 2,4%, ini paling besar sumbangannya ke industri manufaktur nonmigas,” urainya.
Industri kedua adalah transport equipment atau alat angkut. Memang jika dilihat, industri alat angkut masih minus pertumbuhannya, khususnya pada sepeda motor. Namun pada kendaraan roda empat tetap positif di angka 2,7%. ”Ketiga adalah tekstil, ini kan growthnya cuma sekitar 2%, tapi sumbangannya besar.
Jika ditopang dengan bahan baku yang kompetitif pasti bisa terus melesat lagi,” tegasnya. Untuk mencapai target pertumbuhan industri sebesar 5,67%, kata Faisal, pemerintah harus menggenjot industri manufaktur di Tanah Air. Industri manufaktur dalam beberapa tahun terakhir hampir selalu tumbuh di bawah produk domestik bruto (PDB).
Selama ini, menurut Faisal, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masih sangat mengandalkan harga komoditas. Dengan demikian, jika harga komoditas mengalami penurunan, perekonomian nasional juga ikut terpengaruh.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah saat ini belajar dari pengalaman pada saat zaman Orde Baru di mana ketika pertumbuhan ekonomi tinggi langsung diikuti dengan pertumbuhan impor yang lebih cepat.
”Impor yang lebih cepat dari ekspor menyebabkan defisit transaksi berjalan, pemangkasan anggaran untuk proyek-proyek dalam APBN,” ungkapnya.
Bertolak dari pengalaman itu, pemerintah mencoba meng identifikasi apa saja sektor industri hulu yang harus di mulai agar tidak terlalu rentan terhadap kenaikan impor apabila pertumbuhannya naik. Darmin menyebutkan, ada tiga kelompok besar industri yang harus dikembangkan. Pertama, kelompok industri besi dan baja.
Industri besi dan baja dan turunannya dibutuhkan untuk setiap sektor. Kedua, kelompok industri petrokimia. Menurut Darmin, Indonesia punya kesempatan besar dalam bidang ini, tetapi tidak dimanfaatkan sama sekali. Ketiga, kelompok industri kimia dasar yang produk hilirnya untuk kegiatan farmasi. Terkait hal ini, pemerintah mem perbolehkan pihak asing untuk berinvestasi di sektor hulu kelompok ini.
Perlu Dukungan Regulasi
Kalangan pelaku industri automotif berharap pemerintah mem berikan dukungan regulasi sehingga automotif bisa menggeliat seperti diharapkan. Harapan ini diantaranya disampaikan Sekjen Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara dan Presdir PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono.
Kukuh menilai keyakinan pemerintah terhadap pertumbuhan industri automotif tersebut menunjukkan adanya kebijakan baru yang sudah disiapkan pemerintah. Namun Gaikindo berharap pemerintah memastikan regulasi yang disiapkan pada tahun depan benar-benar mampu meningkatkan kinerja ekspor industri automotif nasional.
”Jika pemerintah yakin, berarti ada kebijakan baru. Gaikindo sendiri optimistis industri mau pun pasar di dalam ne geri akan tum buh,” ujar Kukuh saat di hubungi KORAN SINDO tadi malam. Secara khusus Kukuh menggariskan perlunya pemerintah juga mendukung peningkatan pa sar mobil sedan melalui pengu rangan luxury tax.
Dia meyakini, jika pasar sedan bangkit, prinsipal akan bersedia menanam investasi dan memproduksi sedan di Indonesia untuk pasar domestik maupun ekspor. Selain itu dia juga berharap pemerintah mendorong pertumbuhan industri komponen. Warih Andang Tjahjono juga menandaskan perlunya dukungan regulasi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan dan daya saing industri automotif.
”Saat ini kapasitas terpasang pabrik di Indonesia mencapai 2 juta total unit. Namun ka pasitas produksi hanya 1,2 juta unit atau hanya 60%,” ujar Warih kepada KORAN SINDO. Menurut Warih, diharapkan tahun depan kondisi pasar domestik bisa lebih baik.
Dia menam bahkan, daya saing automotif di dalam negeri harus di lihat dari total supply chain.”Tantangan kita supply chain harus di tambah dan industri hulu seperti baja, resin, dan aluminium,” tegasnya.
Warih mengatakan, untuk menopang pertumbuhan industri di dalam negeri, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang tidak hanya memberikan benefit kepada industri nasional, tapi juga memiliki daya saing dengan industri di negara lain seperti India dan Thailand. ”Tahun depan merupakan ta hun yang penting untuk melihat apakah regulasi dari pemerintah memiliki daya saing,” tandasnya. (Anton C/Oktiani Endarwati/Heru Febrianto/Ant)
Kalangan pelaku industri automotif pun optimistis menyambut tahun 2018. Hanya saja mereka masih membutuhkan dukungan pemerintah dalam hal regulasi yang mampu mendorong pertumbuhan dan peningkatan pasar mobil, terutama sedan yang selama ini terkendala luxury tax. Pemerintah sendiri berkomitmen menghilangkan sejumlah hambatan, meningkatkan daya saing, mendorong inovasi, dan sejumlah langkah lain yang diperlukan.
Berdasar data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil pada 2017 diperkirakan tidak berbeda jauh dengan penjualan 2016, yakni pada kisaran 1,05 juta hingga 1,06 juta. Sebelumnya penjualan 2016 menunjukkan kenaikan 4,5% dari 2015. Pada 2018, pemerintah menarget penjualan automotif mencapai 1,1 juta-1,2 juta unit.
Menggeliatnya sektor industri automotif dan sektor industri lainnya secara keseluruhan sangat penting karena industri memberikan sumbangan terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 20%. Jika digabung dengan industri turunannya, kontribusinya bisa mencapai lebih dari 30%.
Sementara dari sisi penyerapan tenaga kerja ada per tumbuhan mendekati 1,5 juta orang yang terjadi pada 2016-2017. ”Kita melihat kalau ham bat annya dikurangi, tekstil, alas kaki juga akan naik,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta.
Untuk mewujudkan harapan tersebut, pemerintah akan mendorong sektor-sektor tersebut agar bisa mencapai target pertumbuhan industri tahun depan.
Selain itu pihaknya akan mendorong industri yang memiliki daya saing di pasar global, diantaranya industri automotif dengan menggandeng industri terkait dari Jepang dan Korea Selatan.
Menurut Airlangga, sejauh ini masih terdapat beberapa hambatan yang perlu diantisipasi tahun depan, salah satunya penetapan tarif bea masuk di beberapa negara untuk produk-produk dari Indonesia.
Hambatan tarif tersebut masih terjadi karena sejumlah kemitraan kerja sama ekonomi belum rampung disepakati, di antaranya dengan Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. ”Kalau perundingannya sudah selesai, semua akan naik, termasuk tekstil dan alas kaki,” jelasnya.
Dalam jangka panjang, Ketua Umum DPP Partai Golkar itu memandang perlunya mendorong industri dalam negeri untuk berinovasi sehingga mampu bersaing di kancah global. Sejalan dengan itu, dalam jangka menengah, Kemenperin tengah mempersiapkan sumber daya manusia sektor industri yang terhubung dan sesuai atau link and match antara pendidikan vokasi dan industri.
Sebelumnya Kemenperin juga terus berupaya menyelesaikan sejumlah ”pekerjaan rumah” yang ditargetkan rampung pada akhir tahun ini. Terutama terkait dengan koordinasi bersama kementerian lain seperti mengenai kebijakan pemberian insentif fiskal bagi industri.
”Di sektor automotif kami sedang mendorong pengembangan kendaraan low cost emission carbon, termasuk didalamnya mobil berbasis listrik dan hibrida. Program ini dijalankan agar Indonesia ikut berperan da lam pengembangan industri yang ramah lingkungan,” tuturnya.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengakui terdapat sejumlah sektor industri yang diprediksi akan melesat pada 2018 mendatang. Menurut dia, sektor tersebut harus digenjot kreditnya pada tahun depan.
”Ada beberapa sektor yang bagus, misalnya makanan dan minuman, chemical botanical seperti jamu dan farmasi, lalu optik, komputer, dan elektrik, equipment dan transportasi, ini yang harus didorong kreditnya,” kata Faisal di Jakarta kemarin.
Dia menyatakan, sepanjang 2018 industri bisa saja tumbuh sesuai dengan target pemerintah, yaitu di angka 5,67%, asalkan tidak terdapat sejumlah gangguan.
Terutama industri makanan dan minuman yang menurutnya ber kontribusi paling besar ke industri manufaktur nonmigas, yaitu sebesar 33,4%. ”Kalau makanan dan minuman tidak diganggu oleh lelang, pertumbuhannya bisa 8%, jika dikalikan 30 sudah 2,4%, ini paling besar sumbangannya ke industri manufaktur nonmigas,” urainya.
Industri kedua adalah transport equipment atau alat angkut. Memang jika dilihat, industri alat angkut masih minus pertumbuhannya, khususnya pada sepeda motor. Namun pada kendaraan roda empat tetap positif di angka 2,7%. ”Ketiga adalah tekstil, ini kan growthnya cuma sekitar 2%, tapi sumbangannya besar.
Jika ditopang dengan bahan baku yang kompetitif pasti bisa terus melesat lagi,” tegasnya. Untuk mencapai target pertumbuhan industri sebesar 5,67%, kata Faisal, pemerintah harus menggenjot industri manufaktur di Tanah Air. Industri manufaktur dalam beberapa tahun terakhir hampir selalu tumbuh di bawah produk domestik bruto (PDB).
Selama ini, menurut Faisal, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masih sangat mengandalkan harga komoditas. Dengan demikian, jika harga komoditas mengalami penurunan, perekonomian nasional juga ikut terpengaruh.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah saat ini belajar dari pengalaman pada saat zaman Orde Baru di mana ketika pertumbuhan ekonomi tinggi langsung diikuti dengan pertumbuhan impor yang lebih cepat.
”Impor yang lebih cepat dari ekspor menyebabkan defisit transaksi berjalan, pemangkasan anggaran untuk proyek-proyek dalam APBN,” ungkapnya.
Bertolak dari pengalaman itu, pemerintah mencoba meng identifikasi apa saja sektor industri hulu yang harus di mulai agar tidak terlalu rentan terhadap kenaikan impor apabila pertumbuhannya naik. Darmin menyebutkan, ada tiga kelompok besar industri yang harus dikembangkan. Pertama, kelompok industri besi dan baja.
Industri besi dan baja dan turunannya dibutuhkan untuk setiap sektor. Kedua, kelompok industri petrokimia. Menurut Darmin, Indonesia punya kesempatan besar dalam bidang ini, tetapi tidak dimanfaatkan sama sekali. Ketiga, kelompok industri kimia dasar yang produk hilirnya untuk kegiatan farmasi. Terkait hal ini, pemerintah mem perbolehkan pihak asing untuk berinvestasi di sektor hulu kelompok ini.
Perlu Dukungan Regulasi
Kalangan pelaku industri automotif berharap pemerintah mem berikan dukungan regulasi sehingga automotif bisa menggeliat seperti diharapkan. Harapan ini diantaranya disampaikan Sekjen Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara dan Presdir PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono.
Kukuh menilai keyakinan pemerintah terhadap pertumbuhan industri automotif tersebut menunjukkan adanya kebijakan baru yang sudah disiapkan pemerintah. Namun Gaikindo berharap pemerintah memastikan regulasi yang disiapkan pada tahun depan benar-benar mampu meningkatkan kinerja ekspor industri automotif nasional.
”Jika pemerintah yakin, berarti ada kebijakan baru. Gaikindo sendiri optimistis industri mau pun pasar di dalam ne geri akan tum buh,” ujar Kukuh saat di hubungi KORAN SINDO tadi malam. Secara khusus Kukuh menggariskan perlunya pemerintah juga mendukung peningkatan pa sar mobil sedan melalui pengu rangan luxury tax.
Dia meyakini, jika pasar sedan bangkit, prinsipal akan bersedia menanam investasi dan memproduksi sedan di Indonesia untuk pasar domestik maupun ekspor. Selain itu dia juga berharap pemerintah mendorong pertumbuhan industri komponen. Warih Andang Tjahjono juga menandaskan perlunya dukungan regulasi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan dan daya saing industri automotif.
”Saat ini kapasitas terpasang pabrik di Indonesia mencapai 2 juta total unit. Namun ka pasitas produksi hanya 1,2 juta unit atau hanya 60%,” ujar Warih kepada KORAN SINDO. Menurut Warih, diharapkan tahun depan kondisi pasar domestik bisa lebih baik.
Dia menam bahkan, daya saing automotif di dalam negeri harus di lihat dari total supply chain.”Tantangan kita supply chain harus di tambah dan industri hulu seperti baja, resin, dan aluminium,” tegasnya.
Warih mengatakan, untuk menopang pertumbuhan industri di dalam negeri, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang tidak hanya memberikan benefit kepada industri nasional, tapi juga memiliki daya saing dengan industri di negara lain seperti India dan Thailand. ”Tahun depan merupakan ta hun yang penting untuk melihat apakah regulasi dari pemerintah memiliki daya saing,” tandasnya. (Anton C/Oktiani Endarwati/Heru Febrianto/Ant)
(nfl)