Target Produksi 2,5 Juta Mobil, Gaikindo Ingatkan Penyerapan Pasar
A
A
A
JAKARTA - Sekjen Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menyatakan, tidak sulit mencapai target produksi 2,5 juta unit pada 2020, seperti yang dicanangkan pemerintah. Hingga akhir 2016, kapasitas produksi mobil nasional sudah mencapai 2 juta unit, apalagi dengan masuknya Wuling.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah penyerapan pasar. Saat ini, pasar mobil nasional hanya mampu menyerap 1,1 juta unit mobil per tahun dan ekspor mobil nasional hanya mencapai 200 ribuan unit.
“Artinya ada idle capacity 700.000 hingga 800.000 unit per tahun. Dengan pertumbuhan pasar domestik sebesar 5% per tahun, pasar hanya mampu menyerap 250.000 unit dalam lima tahun ke depan,” ujar Kukuh.
Dia menerangkan yang perlu dilakukan dalam jangka pendek adalah menggenjot ekspor dan didukung oleh peningkatan daya saing industri automotif nasional. Salah satunya dengan mengatasi hambatan-hambatan nontarif.
“Kalau soal tarif, banyak negara yang sudah menerapkan tarif 0%. Yang perlu diperhatikan sekarang adalah masalah nontarif-nya,” imbuhnya.
Non-tariff barrier itu di antaranya masalah safety mobil yang harus sesuai dengan standar negara tujuan ekspor. Termasuk dari sisi standar emisi gas buangnya.
Negara tujuan ekspor produk automotif asal Indonesia sudah menerapkan standar emisi kendaraan bermotor Euro 4. Kondisi ini menjadikan produsen automotif di Indonesia harus memiliki lini produksi berbeda dari lini produksi untuk kendaraan yang dipasarkan di dalam negeri.
“Contohnya di Australia sudah menerapkan Euro 6. Pasar Australia itu besar, mencapai 1,2 juta unit,” ungkap Kukuh.
Hal ini menjadi peluang bagi Indonesia. Pemerintah, lanjut dia, harus merumuskan kebijakan bersama dengan stakeholder automotif nasional. Apakah kalangan industri bersedia untuk melakukan investasi lagi dalam rangka memenuhi standar negara-negara tujuan ekspor.
Sebab investasi yang dilakukan pihak prinsipal hanya untuk memproduksi mobil-mobil yang mayoritas dijual di Indonesia, yakni mobil multi-purpose vehicle (MPV).
Namun, yang perlu diperhatikan adalah penyerapan pasar. Saat ini, pasar mobil nasional hanya mampu menyerap 1,1 juta unit mobil per tahun dan ekspor mobil nasional hanya mencapai 200 ribuan unit.
“Artinya ada idle capacity 700.000 hingga 800.000 unit per tahun. Dengan pertumbuhan pasar domestik sebesar 5% per tahun, pasar hanya mampu menyerap 250.000 unit dalam lima tahun ke depan,” ujar Kukuh.
Dia menerangkan yang perlu dilakukan dalam jangka pendek adalah menggenjot ekspor dan didukung oleh peningkatan daya saing industri automotif nasional. Salah satunya dengan mengatasi hambatan-hambatan nontarif.
“Kalau soal tarif, banyak negara yang sudah menerapkan tarif 0%. Yang perlu diperhatikan sekarang adalah masalah nontarif-nya,” imbuhnya.
Non-tariff barrier itu di antaranya masalah safety mobil yang harus sesuai dengan standar negara tujuan ekspor. Termasuk dari sisi standar emisi gas buangnya.
Negara tujuan ekspor produk automotif asal Indonesia sudah menerapkan standar emisi kendaraan bermotor Euro 4. Kondisi ini menjadikan produsen automotif di Indonesia harus memiliki lini produksi berbeda dari lini produksi untuk kendaraan yang dipasarkan di dalam negeri.
“Contohnya di Australia sudah menerapkan Euro 6. Pasar Australia itu besar, mencapai 1,2 juta unit,” ungkap Kukuh.
Hal ini menjadi peluang bagi Indonesia. Pemerintah, lanjut dia, harus merumuskan kebijakan bersama dengan stakeholder automotif nasional. Apakah kalangan industri bersedia untuk melakukan investasi lagi dalam rangka memenuhi standar negara-negara tujuan ekspor.
Sebab investasi yang dilakukan pihak prinsipal hanya untuk memproduksi mobil-mobil yang mayoritas dijual di Indonesia, yakni mobil multi-purpose vehicle (MPV).
(dmd)