Enkripsi Bisa Kurangi Tingkat Perompakan di Samudra Hindia
A
A
A
ABU DHABI - Kawasan Samudra Hindia dihuni oeh banyak negara Asia dan Afrika yang mempunyai potensi konflik cukup besar. Konflik tersebut bisa disulut dengan berbagai hal. Salah satu contoh yang nyata adalah konflik antara Saudi dengan Qatar yang diawali dengan isu peretasan pada Qatar News Agency. Selain itu juga masalah perompakan menjadi pekerjaan rumah yang serius.
Kedua masalah tersebut tidak bisa lepas dari masalah keamanan siber di masing-masing negara. Standar keamanan siber yang masih belum tercapai dengan baik memudahkan adanya upaya spionase, perusakan dan pencurian infomasi.
Dalam acara Dialogue Indian Ocean di Abu Dhabi Selasa (10/10), pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan pentingnya negara-negara di kawasan Samudra Hindia membangun kekuatan siber bersama-sama. Menurutnya potensi konflik yang sudah besar di kawasan akan bertambah besar bila negara-negara di kawasan Samudra Hindia tidak menyamakan persepsi tentang pentingnya keamanan siber.
“Setiap negara perlu mempunyai badan siber dan juga pusat operasinya, bisa berupa Security Operation Center (SOC) yang berfungsi mendeteksi, menganalisa dan juga memperkuat pertahanan siber setiap negara. Jadi tidak hanya bereaksi saat ada peretasan saja,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Reserach Centre) ini.
Pratama melanjutkan bahwa memang perhatian pada keamanan siber belum terlalu besar di negara-negara kawasan Samudra Hindia, buktinya negara sebesar Indonesia saja baru membentuk badan siber pada 2017.
“Bila setiap negara ini sudah ada badan siber dan SOC, bisa dilakukan kerjasama. Early warning system bisa dibangun bersama, bila ada serangan di satu negara, negara lain bisa langsung waspada, bahkan tidak menuup kemungkinan untuk ikut membantu. Jadi ada sharing information yang nanti bisa ditentukan bersama apa saja yang boleh dan tidak boleh dishare,” terang pria asal Blora Jawa Tengah ini.
Pratama juga melihat masih tingginya perompakan di kawasan Samudra Hindia karena para perompak ini juga menguasai teknologi. Minimal mereka memiliki scanner radio yang bisa memonitoring percakapan antar kapal yang melintas. Kapal-kapal ini seharusnya dilengkapi teknologi enkripsi pada radio yang digunakan agar perompak kesulitan memantau komunikasi mereka.
“Perompak ini juga tidak bekerja sendiri, ada pihak-pihak yang membantu menyuplai informasi. Pihak-pihak ini mengerti teknologi, bahkan peretasan bisa dilakukan bila memang diperlukan data yang penting yang tidak dimuat bebas di internet,” jelas Pratama yang menjadi salah satu panelis mewakili Indonesia dalam acara Indian Ocean Dialogue di Abu Dhabi 9-10 Oktober 2017.
Selama ini kapal tanker adalah salah satu objek yang paling sering disasar oleh perompak. Dengan adanya enkripsi dan penguatan pertahanan siber di setiap negara, diharapkan bisa mempersempit dan mempersulit perompak untuk mendapatkan informasi.
Acara Indian Ocean Dialogue 2017 diselenggarakan oleh IORA (Indian Ocean Rim Association) yang merupakan organisasi internasional yang terdiri atas negara-negara pesisir yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. IORA adalah forum regional, bersifat tripartit, menghimpun perwakilan dari negara, bisnis, dan akademia, untuk mempromosikan kerja sama dan interaksi erat di antara mereka. Selain diwakili para akademisi dan praktisi terkait, turut hadir pula Kementrian Luar Negeri sebagai perwakilan pemerintah.
Kedua masalah tersebut tidak bisa lepas dari masalah keamanan siber di masing-masing negara. Standar keamanan siber yang masih belum tercapai dengan baik memudahkan adanya upaya spionase, perusakan dan pencurian infomasi.
Dalam acara Dialogue Indian Ocean di Abu Dhabi Selasa (10/10), pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan pentingnya negara-negara di kawasan Samudra Hindia membangun kekuatan siber bersama-sama. Menurutnya potensi konflik yang sudah besar di kawasan akan bertambah besar bila negara-negara di kawasan Samudra Hindia tidak menyamakan persepsi tentang pentingnya keamanan siber.
“Setiap negara perlu mempunyai badan siber dan juga pusat operasinya, bisa berupa Security Operation Center (SOC) yang berfungsi mendeteksi, menganalisa dan juga memperkuat pertahanan siber setiap negara. Jadi tidak hanya bereaksi saat ada peretasan saja,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Reserach Centre) ini.
Pratama melanjutkan bahwa memang perhatian pada keamanan siber belum terlalu besar di negara-negara kawasan Samudra Hindia, buktinya negara sebesar Indonesia saja baru membentuk badan siber pada 2017.
“Bila setiap negara ini sudah ada badan siber dan SOC, bisa dilakukan kerjasama. Early warning system bisa dibangun bersama, bila ada serangan di satu negara, negara lain bisa langsung waspada, bahkan tidak menuup kemungkinan untuk ikut membantu. Jadi ada sharing information yang nanti bisa ditentukan bersama apa saja yang boleh dan tidak boleh dishare,” terang pria asal Blora Jawa Tengah ini.
Pratama juga melihat masih tingginya perompakan di kawasan Samudra Hindia karena para perompak ini juga menguasai teknologi. Minimal mereka memiliki scanner radio yang bisa memonitoring percakapan antar kapal yang melintas. Kapal-kapal ini seharusnya dilengkapi teknologi enkripsi pada radio yang digunakan agar perompak kesulitan memantau komunikasi mereka.
“Perompak ini juga tidak bekerja sendiri, ada pihak-pihak yang membantu menyuplai informasi. Pihak-pihak ini mengerti teknologi, bahkan peretasan bisa dilakukan bila memang diperlukan data yang penting yang tidak dimuat bebas di internet,” jelas Pratama yang menjadi salah satu panelis mewakili Indonesia dalam acara Indian Ocean Dialogue di Abu Dhabi 9-10 Oktober 2017.
Selama ini kapal tanker adalah salah satu objek yang paling sering disasar oleh perompak. Dengan adanya enkripsi dan penguatan pertahanan siber di setiap negara, diharapkan bisa mempersempit dan mempersulit perompak untuk mendapatkan informasi.
Acara Indian Ocean Dialogue 2017 diselenggarakan oleh IORA (Indian Ocean Rim Association) yang merupakan organisasi internasional yang terdiri atas negara-negara pesisir yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. IORA adalah forum regional, bersifat tripartit, menghimpun perwakilan dari negara, bisnis, dan akademia, untuk mempromosikan kerja sama dan interaksi erat di antara mereka. Selain diwakili para akademisi dan praktisi terkait, turut hadir pula Kementrian Luar Negeri sebagai perwakilan pemerintah.
(wbs)