Lampu Kuning Mobil Listrik
A
A
A
TANGERANG - Ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2018 akan menghadirkan banyak mobil listrik guna menyesuaikan kebijakan pemerintah.
Meski demikian , Gaikindo menyuarakan beberapa rekomendasi yang tak ubahnya lampu kuning untuk pengembangan mobil listrik. GIIAS 2018 akan kembali diselenggarakan pada 2-12 Agustus 2018 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD, Tangerang Selatan, Banten. Pameran mobil yang mengusung tema “Beyond Mobility” ini diharapkan memberikan sumbangan positif bagi perkembangan industri mobil Tanah Air.
Selain itu, memberikan inspirasi dan kontribusi positif bagi masyarakat. Ketua Umum Gaikindo Yohanes Nangoi mengatakan, pada GIIAS 2018 ini akan dipamerkan berbagai jenis mobil listrik. Ini sebagai bentuk dukungan Gaikindo kepada program mobil listrik pemerintah.
“Yang pasti kita akan pamerkan mobil listrik. Kami sudah bekerja sama (dengan produsen mobil). Jadi kayak Mitsubishi dia taruh 10 mobil listriknya. BMW, dari Honda juga ada,” ungkapnya.
Selain itu, penyelenggara menyediakan lokasi khusus bagi pengunjung yang ingin merasakan pengalaman mengendarai mobil listrik. “Kita juga siapkan arena untuk test drive mobil listrik. Kita juga tawarkan ke mahasiswa (yang punya konsep dan riset mobil listrik untuk dipamerkan,” tambah dia.
Yohanes Nangoi melanjutkan, saat ini kehadiran mobil listrik memang tidak bisa dihindari. Namun, menurut dia, Gaikindo memiliki beberapa rekomendasi yang perlu diperhatikan pemerintah mengenai kelanjutan program mobil listrik nasional.
Dia mengatakan hadirnya mobil listrik dipicu oleh dua keadaan, yakni keinginan untuk mengurangi polusi dan penghematan bahan bakar fosil yang selama ini digunakan oleh mobil dengan pembakaran internal.
Asosiasi berharap jika memang ingin mengurangi polusi, maka pemerintah harus bisa memastikan bahwa sumber tenaga penghasil listrik yang digunakan mobil listrik datang dari sumber yang rendah emisi. Misalnya pembangkit listrik tenaga angin, surya, hingga air.
“Sebaliknya juga masih menggunakan batu bara juga, seperti yang ada saat ini, itu emisinya juga tinggi. Tingkat emisi yang dihasilkan sumber tersebut akan sangat tinggi di sana,” katanya. Begitu juga dengan masalah baterai yang pasti akan jadi sumber polusi.
Menurutnya, 10 hingga 15 tahun ke depan baterai harus didaur ulang dan itu bukan masalah mudah karena sejauh ini hanya ada 3 negara yang bisa melakukannya. Daur ulang pun, menurutnya, bukan sekadar membuang di lubang dan kemudian menanamnya. Daur ulang baterai harus dilakukan dengan cara penguraian agar tidak polutif atau beracun.
“Kalau Indonesia sudah bisa mendaur ulang ini, berarti kemajuan yang besar karena kita jadi negara yang bisa mendaur ulang baterai,” katanya.
Masalah baterai juga jadi hal yang sangat pelik. Menurut Yohanes Nangoi, hanya ada 3 negara yang bisa membuat baterai, yaitu China, Jepang, dan Korea. Akan sangat disayangkan jika Indonesia memulai pembuatan mobil listrik, justru masih mengimpor baterai dari ketiga negara tersebut. Belum lagi ada fakta bahwa Indonesia memang tidak memiliki sumber daya lithium.
Dia mengaku, Gaikindo telah beraudiensi dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengenai baterai yang digunakan nanti. Dari audiensi tersebut diketahui Kemenperin tengah melakukan riset baterai dari nikel kobalt. Hanya saja menurutnya perlu diingat, riset untuk pengembangan baterai tersebut akan memakan biaya yang tidak sedikit.
Dia mencontohkan General Motors yang bekerja sama dengan perusahaan elektronik Korea Selatan, LG, dalam pengembangan baterai. Saat itu General Motors, menurutnya, menghabiskan dana sebesar Rp60 triliun. “Kalau kita membuat mobil nasional listrik tapi ambil baterai dari luar dan dirakit di sini, ini agak kurang cocok. Kita jadi seperti tukang jahit karena sumbernya masih dari luar,” tegasnya.
Yohanes Nangoi kembali menegaskan, asosiasi tidak menghalang-halangi pemerintah mengembangkan mobil listrik. Gaikindo mendukung seratus persen keinginan pemerintah untuk membuat mobil listrik nasional. “Kami sangat mendukung, apalagi jika kita bisa membuat dan mendaur ulang baterai,” tuturnya. (Wahyu Sibarani)
Meski demikian , Gaikindo menyuarakan beberapa rekomendasi yang tak ubahnya lampu kuning untuk pengembangan mobil listrik. GIIAS 2018 akan kembali diselenggarakan pada 2-12 Agustus 2018 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD, Tangerang Selatan, Banten. Pameran mobil yang mengusung tema “Beyond Mobility” ini diharapkan memberikan sumbangan positif bagi perkembangan industri mobil Tanah Air.
Selain itu, memberikan inspirasi dan kontribusi positif bagi masyarakat. Ketua Umum Gaikindo Yohanes Nangoi mengatakan, pada GIIAS 2018 ini akan dipamerkan berbagai jenis mobil listrik. Ini sebagai bentuk dukungan Gaikindo kepada program mobil listrik pemerintah.
“Yang pasti kita akan pamerkan mobil listrik. Kami sudah bekerja sama (dengan produsen mobil). Jadi kayak Mitsubishi dia taruh 10 mobil listriknya. BMW, dari Honda juga ada,” ungkapnya.
Selain itu, penyelenggara menyediakan lokasi khusus bagi pengunjung yang ingin merasakan pengalaman mengendarai mobil listrik. “Kita juga siapkan arena untuk test drive mobil listrik. Kita juga tawarkan ke mahasiswa (yang punya konsep dan riset mobil listrik untuk dipamerkan,” tambah dia.
Yohanes Nangoi melanjutkan, saat ini kehadiran mobil listrik memang tidak bisa dihindari. Namun, menurut dia, Gaikindo memiliki beberapa rekomendasi yang perlu diperhatikan pemerintah mengenai kelanjutan program mobil listrik nasional.
Dia mengatakan hadirnya mobil listrik dipicu oleh dua keadaan, yakni keinginan untuk mengurangi polusi dan penghematan bahan bakar fosil yang selama ini digunakan oleh mobil dengan pembakaran internal.
Asosiasi berharap jika memang ingin mengurangi polusi, maka pemerintah harus bisa memastikan bahwa sumber tenaga penghasil listrik yang digunakan mobil listrik datang dari sumber yang rendah emisi. Misalnya pembangkit listrik tenaga angin, surya, hingga air.
“Sebaliknya juga masih menggunakan batu bara juga, seperti yang ada saat ini, itu emisinya juga tinggi. Tingkat emisi yang dihasilkan sumber tersebut akan sangat tinggi di sana,” katanya. Begitu juga dengan masalah baterai yang pasti akan jadi sumber polusi.
Menurutnya, 10 hingga 15 tahun ke depan baterai harus didaur ulang dan itu bukan masalah mudah karena sejauh ini hanya ada 3 negara yang bisa melakukannya. Daur ulang pun, menurutnya, bukan sekadar membuang di lubang dan kemudian menanamnya. Daur ulang baterai harus dilakukan dengan cara penguraian agar tidak polutif atau beracun.
“Kalau Indonesia sudah bisa mendaur ulang ini, berarti kemajuan yang besar karena kita jadi negara yang bisa mendaur ulang baterai,” katanya.
Masalah baterai juga jadi hal yang sangat pelik. Menurut Yohanes Nangoi, hanya ada 3 negara yang bisa membuat baterai, yaitu China, Jepang, dan Korea. Akan sangat disayangkan jika Indonesia memulai pembuatan mobil listrik, justru masih mengimpor baterai dari ketiga negara tersebut. Belum lagi ada fakta bahwa Indonesia memang tidak memiliki sumber daya lithium.
Dia mengaku, Gaikindo telah beraudiensi dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengenai baterai yang digunakan nanti. Dari audiensi tersebut diketahui Kemenperin tengah melakukan riset baterai dari nikel kobalt. Hanya saja menurutnya perlu diingat, riset untuk pengembangan baterai tersebut akan memakan biaya yang tidak sedikit.
Dia mencontohkan General Motors yang bekerja sama dengan perusahaan elektronik Korea Selatan, LG, dalam pengembangan baterai. Saat itu General Motors, menurutnya, menghabiskan dana sebesar Rp60 triliun. “Kalau kita membuat mobil nasional listrik tapi ambil baterai dari luar dan dirakit di sini, ini agak kurang cocok. Kita jadi seperti tukang jahit karena sumbernya masih dari luar,” tegasnya.
Yohanes Nangoi kembali menegaskan, asosiasi tidak menghalang-halangi pemerintah mengembangkan mobil listrik. Gaikindo mendukung seratus persen keinginan pemerintah untuk membuat mobil listrik nasional. “Kami sangat mendukung, apalagi jika kita bisa membuat dan mendaur ulang baterai,” tuturnya. (Wahyu Sibarani)
(nfl)