Orang Tua Diminta Waspadai Dampak Psikis Gawai Bagi Buah Hatinya
A
A
A
JAKARTA - Di saat teman-temannya sibuk bermain bersama, Chantika malah asyik dengan dirinya sendiri. Dia tidak tertarik bergabung bersama yang lain, malah memilih menarik diri.
Wali kelas yang mengetahui kebiasaan Chantika langsung memutuskan memanggil orang tuanya untuk membicarakan masalah tersebut. “Saya dipanggil oleh guru anak saya, di situ saya kaget karena Chantika sulit bergaul dan sukanya menyendiri,” kenang Novelia.
Dia mengaku, sejak putrinya masih kecil, ia memiliki kebiasaan memberi makan anak sambil menyodorinya gawai. Memang sang putri tidak menolak saban disuapi.
Namun ketika putrinya tersebut beranjak usia 2,5 tahun, dia merasa sulit mendapatkan perhatiannya. “Ditambah lagi ketika sekolah, ternyata dia punya masalah pergaulan. Berdasarkan pengalaman gurunya, itu terjadi karena anak saya terlalu sering terpapar gadget,” kata ibu bekerja ini.
Ya, beberapa masalah psikis yang harus diwaspadai akibat berlebihan bermain gadget di antaranya adalah, anak menjadi minim interaksi sosial, kurang empati, tidak ada pertemanan di level empati, kurang hangat, egois, dan lainnya. Jadi jangan heran jika ada anggapan anak zaman sekarang kurang bermoral.
Sebab mereka terlalu banyak screen time (waktu menonton dan bermain gadget). Alhasil setelah itu, Novelia menghentikan kebiasaan screen time. Bahkan putri keduanya pun baru menonton TV di usia tiga tahun.
“Memang saya akui memberi gadget sambil nyuapin anak itu mudah, anak tidak menolak untuk disuapi jadinya. Saya juga bisa bebas mau aktivitas. Tapi efek negatifnya justru lebih besar,” katanya.
Screen time bukan hanya untuk anak-anak tapi juga berlaku bagi orang tua. “Kenapa susah mengambil gadget dari anak? Karena orangtuanya juga tak pernah lepas dari gadget,” sebut Novelia.
Menurut Psikolog, Elizabeth Santosa, Screen Time disini bukan hanya ponsel pintar tapi laptop, tablet, dan televisi.
Fenomena Global
Tak disangkal, perkembangan masif era digital membuat hampir setiap individu melek teknologi seperti ponsel pintar, tablet, dan lainnya bahkan anak batita sekalipun. Namun teknologi memang seperti pedang bermata dua, di satu sisi memudahkan kehidupan tapi di sisi lain sarat dengan dampak negatif jika tidak dimanfaatkan secara tepat.Survei Asian Parent terhadap sekitar 2.500 orang tua di negara ASEAN menemukan fakta, ternyata 99% anak main gadget di rumah. 71% main saat bepergian, dan 70% main di rumah makan, 40% main di rumah teman, serta 17% di antaranya main di sekolah.
Penelitian yang pernah dilakukan mahasiswa psikologi Universitas Indonesia, melihat preferensi orang tua dalam memilih alat permainan tahun 2012 di area Jakarta menghasilkan kesimpulan, sebagian orang tua memberikan gadget kepada anaknya karena menginginkan sang buah hati menjadi pintar.
“Gadget dijadikan pilihan pertama, disusul lego, balok-balok kontruktif, puzzle dan lainnya. Mainan seperti boneka handuk yang lembut yang membantu mengatasi kecemasan anak, justru tidak favorit dan menjadi pilihan terakhir orang tua,” ungkap psikolog keluarga Astrid WEN, MPsi, pendiri PION Clinition dan inisiator Theaplay Indonesia.
Fenomena ini juga terjadi secara global. Meskipun internet addiction atau kecanduan internet belum dikenal di Indonesia, di negara maju masalah ini sudah dianggap sebagai ancaman serius bagi masa depan anak-anak. Bahkan di Inggris, biaya terapi untuk mengatasi kecanduan terhadap gawai sangat mahal.
Oleh karena itu, menurut Astrid, mencegah menjadi solusi lebih baik dan dilakukan sejak dini. Namun jika ditelusuri lebih jauh apakah memang benar gadget dapat membahayakan anak-anak? Menurut Astrid kata bahaya sebenarnya tidak terlalu tepat.
Tidak ada salahnya anak mengenal gadget. Boleh saja, hanya saja ada dua aspek yang harus dipertimbangkan orang tua terlebih dahulu. Yaitu konten internet yang maksudnya di sini kita harus memastikan agar hiburan atau informasi yang dikonsumsi anak tidak mengandung aspek pornografi maupun kekerasan.
Perhatikan pula waktu atau durasi yang dihabiskan anak dalam bermain gadget. Kebanyakan anak menghabiskan waktu bermain gadget berjam-jam sehingga mengorbankan waktu untuk melakukan eksplorasi khas anak-anak. Misalnya saja bergerak, berlari, dan berinteraksi dengan orang sekitar.
Wali kelas yang mengetahui kebiasaan Chantika langsung memutuskan memanggil orang tuanya untuk membicarakan masalah tersebut. “Saya dipanggil oleh guru anak saya, di situ saya kaget karena Chantika sulit bergaul dan sukanya menyendiri,” kenang Novelia.
Dia mengaku, sejak putrinya masih kecil, ia memiliki kebiasaan memberi makan anak sambil menyodorinya gawai. Memang sang putri tidak menolak saban disuapi.
Namun ketika putrinya tersebut beranjak usia 2,5 tahun, dia merasa sulit mendapatkan perhatiannya. “Ditambah lagi ketika sekolah, ternyata dia punya masalah pergaulan. Berdasarkan pengalaman gurunya, itu terjadi karena anak saya terlalu sering terpapar gadget,” kata ibu bekerja ini.
Ya, beberapa masalah psikis yang harus diwaspadai akibat berlebihan bermain gadget di antaranya adalah, anak menjadi minim interaksi sosial, kurang empati, tidak ada pertemanan di level empati, kurang hangat, egois, dan lainnya. Jadi jangan heran jika ada anggapan anak zaman sekarang kurang bermoral.
Sebab mereka terlalu banyak screen time (waktu menonton dan bermain gadget). Alhasil setelah itu, Novelia menghentikan kebiasaan screen time. Bahkan putri keduanya pun baru menonton TV di usia tiga tahun.
“Memang saya akui memberi gadget sambil nyuapin anak itu mudah, anak tidak menolak untuk disuapi jadinya. Saya juga bisa bebas mau aktivitas. Tapi efek negatifnya justru lebih besar,” katanya.
Screen time bukan hanya untuk anak-anak tapi juga berlaku bagi orang tua. “Kenapa susah mengambil gadget dari anak? Karena orangtuanya juga tak pernah lepas dari gadget,” sebut Novelia.
Menurut Psikolog, Elizabeth Santosa, Screen Time disini bukan hanya ponsel pintar tapi laptop, tablet, dan televisi.
Fenomena Global
Tak disangkal, perkembangan masif era digital membuat hampir setiap individu melek teknologi seperti ponsel pintar, tablet, dan lainnya bahkan anak batita sekalipun. Namun teknologi memang seperti pedang bermata dua, di satu sisi memudahkan kehidupan tapi di sisi lain sarat dengan dampak negatif jika tidak dimanfaatkan secara tepat.Survei Asian Parent terhadap sekitar 2.500 orang tua di negara ASEAN menemukan fakta, ternyata 99% anak main gadget di rumah. 71% main saat bepergian, dan 70% main di rumah makan, 40% main di rumah teman, serta 17% di antaranya main di sekolah.
Penelitian yang pernah dilakukan mahasiswa psikologi Universitas Indonesia, melihat preferensi orang tua dalam memilih alat permainan tahun 2012 di area Jakarta menghasilkan kesimpulan, sebagian orang tua memberikan gadget kepada anaknya karena menginginkan sang buah hati menjadi pintar.
“Gadget dijadikan pilihan pertama, disusul lego, balok-balok kontruktif, puzzle dan lainnya. Mainan seperti boneka handuk yang lembut yang membantu mengatasi kecemasan anak, justru tidak favorit dan menjadi pilihan terakhir orang tua,” ungkap psikolog keluarga Astrid WEN, MPsi, pendiri PION Clinition dan inisiator Theaplay Indonesia.
Fenomena ini juga terjadi secara global. Meskipun internet addiction atau kecanduan internet belum dikenal di Indonesia, di negara maju masalah ini sudah dianggap sebagai ancaman serius bagi masa depan anak-anak. Bahkan di Inggris, biaya terapi untuk mengatasi kecanduan terhadap gawai sangat mahal.
Oleh karena itu, menurut Astrid, mencegah menjadi solusi lebih baik dan dilakukan sejak dini. Namun jika ditelusuri lebih jauh apakah memang benar gadget dapat membahayakan anak-anak? Menurut Astrid kata bahaya sebenarnya tidak terlalu tepat.
Tidak ada salahnya anak mengenal gadget. Boleh saja, hanya saja ada dua aspek yang harus dipertimbangkan orang tua terlebih dahulu. Yaitu konten internet yang maksudnya di sini kita harus memastikan agar hiburan atau informasi yang dikonsumsi anak tidak mengandung aspek pornografi maupun kekerasan.
Perhatikan pula waktu atau durasi yang dihabiskan anak dalam bermain gadget. Kebanyakan anak menghabiskan waktu bermain gadget berjam-jam sehingga mengorbankan waktu untuk melakukan eksplorasi khas anak-anak. Misalnya saja bergerak, berlari, dan berinteraksi dengan orang sekitar.
(mim)