Athanasia Amanda Septevani Ciptakan Layar Ponsel dari Alam
A
A
A
Pernah terpikirkah jika layar ponsel berasal dari selulosa atau senyawa organik pada tanaman? Memang belum ada inovasi seperti itu di Indonesia dan bahkan penelitian ini masih sangat baru di dunia.
Adalah Athanasia Amanda Septevani yang akan membuktikan apakah nanoselulosa yang dibuat menjadi film transparan mampu menjadi layar alat-alat elektronik. Bagaimana tema penelitian ini bermula hingga meraih penghargaan dan pendanaan dari L’Oreal for Women in Science? Simak cerita wanita yang akrab dengan sapaan Amanda tersebut berikut ini.
Apa yang Anda akan teliti dan bagaimana cara kerjanya?
Judul penelitian yang akan saya lakukan adalah “Pengembangan Nanopaper Berbasis Biomassa Serat Nanoselulosa Alami sebagai Layar/Display Perangkat Elektronik Masa Depan”. Ponsel kita kan ada layarnya.
Nah, saya berusaha mengembangkan material baru yang bisa dipakai sebagai layar ponsel. Sebenarnya tidak hanya terbatas untuk ponsel, tapi bisa sebagai layar laptop atau bahkan TV juga bisa. Sekarang layar yang ada di pasaran mayoritas tipe yang bahannya dari gelas. Makanya kalau jatuh mudah sekali retak.
Sekarang memang sudah banyak bahan layar yang beralih ke polimer. Bahannya lebih fleksibel, tetapi polimernya masih sintetis, jadi masih menggunakan bahan-bahan dari petrokimia yang tidak dapat diperbarui. Penelitian saya ini berusaha membuat nanopaper dari selulosa yang berasal dari limbah biomassa yang melimpah jumlahnya dan tentu sumbernya dapat diperbarui.
Selulosa diisolasi dan diproses secara kimia menjadi nanoselulosa. Nah, nanoselulosa ini kemudian diproses lebih lanjut menjadi lembaran tipis yang transparan yang dikenal sebagai “nanopaper”. Hampir sama seperti kertas, tapi nanopaper (nanokertas) itu transparan sifatnya karena dia dalam skala nano.
Untuk aplikasinya diharapkan dapat berfungsi sebagai layar/screen ponsel atau alat-alat elektronik lain. Penelitian saya ini memanfaatkan limbah biomassa dari tandan kosong kelapa sawit dan tongkol jagung.
Sebenarnya banyak biomassa lain asalkan mengandung selulosa yang cukup banyak sehingga dapat direkayasa atau dimodifikasi dengan lebih mudah jadi film transparan. Sebenarnya selulosa dapat ditemukan di segala macam tumbuhan di daun maupun batang misalnya. Tergantung sumbernya.
Kalau di batang karena warnanya cokelat tua, artinya selulosa lebih sedikit. Adapun pada daun selulosanya lebih banyak, tetapi selulosa pada tumbuhan ini masih dalam skala mikrometer. Jika belum dibuat nano, bentuknya seperti serat panjang dan masih dapat terlihat dengan mata telanjang.
Kalau sudah jadi nanoselulosa bentuknya sangat kecil seperti jarum dan transparan. Karena bahan mentah penelitian saya dari limbah-limbah pertanian/perkebunan di Indonesia, oleh karenanya melalui penelitian ini diharapkan layar pada perangkat elektronik dapat diproduksi sendiri di Indonesia dengan harga yang relatif murah karena menggunakan limbah produksi yang tidak ada manfaat sama sekali untuk direkayasa menjadi produk material maju yang tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi dari bahan baku itu sendiri, tetapi juga mewujudkan kemandirian teknologi inovasi nasional. Bahkan mimpi saya produk nanopaper ini mampu bersaing dengan produk hasil penelitian internasional.
Bagaimana terpikir untuk meneliti ini?
Saya mulai mempelajari dan meneliti nanoselulosa sejak studi S-3 dan ternyata nanoselulosa aplikasinya luar biasa banyak. Saat ini saya sedang mengembangkan berbagai aplikasi, salah satunya untuk film transparan ini, yaitu yang dapat digunakan sebagai layar alat elektronik.
Saat studi S-3 dulu, saya membuat suatu material insulasi dari nanoselulosa yang dapat digunakan untuk menjaga suhu ruangan tanpa menggunakan heater ataupun AC sekalipun. Setelah berhasil mendapatkan gelar doctor of philosophy di bidang material science di University of Queensland, Australia, saya kembali bekerja di LIPI dan berusaha mengaplikasikan penelitian yang telah saya dalami di Australia.
Saya berusaha mencari, penelitian apa yang kira-kira kita butuhkan di Indonesia. Kalau melanjutkan aplikasi sebagai material insulasi seperti penelitian S-3 saya, tentu kurang relevan dan aplikatif di Indonesia mengingat musim yang tidak berbeda secara ekstrem di Indonesia.
Akhirnya, pemikiran awal saya, yang paling pas untuk dapat diaplikasikan di Indonesia adalah untuk layar alat elektronik. Indonesia merupakan salah satu target negara dengan pasar raksasa untuk produk elektronik di dunia. Sebagai contoh, Indonesia merupakan pasar smartphone terbesar ketiga di Asia-Pasifik.
Sangat disayangkan apabila pasar yang sangat besar ini hanya didominasi produk atau bahan baku produk dari luar negeri, ditambah lagi layar/screen pada perangkat elektronik merupakan komponen utama yang mahal dan memiliki fungsi penting.
Ini adalah pengalaman saya yang pertama kali untuk mencoba bagaimana membuat film transparan dari nanoselulosa. Oleh karena itu saya masih sering berkonsultasi dengan kolega saya di Australia seperti profesor, supervisor, serta teman-teman post-doc di kampus tempat saya menimba ilmu S-3 dulu.
Harapan penelitian ini?
Saya berhasil mengembangkan nanoselulosa dari limbah-limbah pertanian/perkebunan yang tidak bermanfaat menjadi sebuah material nano yang dapat dimanfaatkan sebagai layar/screen ponsel atau alat-alat elektronik lain.
Di Indonesia pengelolaan limbah masih kurang optimal, padahal limbah-limbah itu masih banyak sekali jumlahnya. Indonesia adalah negara produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Minyak sawit yang dihasilkan banyak, maka otomatis limbahnya pun tak kalah banyak.
Diharapkan penelitian ini bisa ikut membantu mengatasi pengelolaan limbah yang jumlahnya luar biasa banyak serta meningkatkan nilai jual limbah. Harapan saya selanjutnya, kita juga tidak kalah bersaing karena pengembangan layar elektronik dari biomassa yang masih relatif sangat baru.
Jika kita mengembangkan saat ini juga, kita tidak akan telat bersaing dengan dunia internasional. Walaupun penelitian ini baru dimulai dan memang masih jauh perjalanannya, harapan kita agar nanti produk ini bisa diaplikasikan untuk jadi layar alat elektronik dan bahkan berkontribusi secara efektif pada pengembangan teknologi layar elektronik di masa depan secara nasional maupun internasional.
Pandangan Anda terhadap peneliti perempuan di Indonesia?
Sudah banyak sekali. Kalau di kantor saya, ruang lingkup terdekat saya di jurusan kimia, paling banyak ya wanita. Di laboratorium saya, laki-lakinya hanya dua orang. Menurut saya, jadi peneliti memang fleksibel sehingga sangat cocok untuk perempuan agar bisa mengerjakan pekerjaan lain.
Peneliti bukan pekerja harian yang pekerjaannya harus selesai hari ini. Kami bekerja by term, ada jangka waktu, misalnya setahun waktu penelitian. Ya selama setahun itu kita bisa mengatur waktu sendiri agar dapat maksimal.
Apakah profesi peneliti menjadi yang diminati oleh generasi muda masa kini?
Tergantung orangnya. Tapi gambaran mengenai pekerjaan peneliti itu bagi anak zaman sekarang adalah seseorang yang selalu bekerja di balik tumpukan kertas atau selalu di laboratorium. Padahal sebenarnya tidak. Makanya kami di LIPI sering mengadakan roadshow ke sekolah atau mengadakan science expo.
Menunjukkan kepada khalayak peneliti itu seperti apa. Banyak anak dan remaja yang berinteraksi, ada kompetisi science juga. Hal ini untuk membuka pandangan orang bahwa jadi peneliti itu asyik dan menyenangkan.
Apa pesan Anda bagi calon peneliti atau peneliti muda?
Memang jadi peneliti itu butuh komitmen sehingga membutuhkan ketekunan dalam menjalaninya. Harus siap gagal, jadi punya sikap tidak pantang menyerah karena penelitian tanpa kegagalan itu tidak akan jadi sebuah penelitian. Namanya juga research ya harus re atau mengulang. Percaya saja suatu hari nanti ada hasil. Jangan berhenti berjuang.
Harapan Anda untuk peneliti dan sains di Indonesia?
Dengan segala keterbatasan yang ada karena mungkin peneliti di Indonesia masih kurang diperhatikan, para peneliti harus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kita mampu bersaing.
Bahagia Menjadi Peneliti
Amanda menemukan passion dan kebahagiaan setelah menjadi peneliti. Bukan hanya karena bisa bekerja sesuai latar belakang pendidikannya, kini dia juga dapat berkiprah untuk negara.
Setelah meraih gelar sarjana, Amanda pernah bekerja di sektor industri di Singapura sebagai supervisor produksi. Mapan dan memiliki karier bagus bukan jaminan untuk bertahan, apalagi bila harus tinggal di negeri orang. Masih ada sesuatu yang ingin dicarinya.
Setelah nekat berhenti dari perusahaannya dan melamar bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di sinilah kenyamanan mulai dirasakan Amanda. “Namanya bekerja, pasti penuh tekanan. Kalau dulu benarbenar tertekan.
Hidup untuk bekerja, sampai akhir pekan juga kerja karena ada target. Setelah jadi peneliti, tertekan juga, tapi saya sangat menikmati,” ungkap Amanda. Suka-duka menjadi peneliti memang dinikmati Amanda, seperti harus membuat jurnal ketika selesai meneliti.
Peneliti mesti menuliskannya dalam suatu publikasi paper. Paper tersebut harus bisa dipublikasikan di jurnal ternama, terkadang tentu mengalami penolakan. Namun, semua tantangan dapat dilalui, bahkan terbayar dengan rasa puas jika penelitiannya dapat dijadikan referensi atau bermanfaat bagi banyak orang.
Semua tekanan dihadapi Amanda dengan bahagia. Baginya, hidup bukan hanya soal mendulang materi, tapi ada satu titik tertentu untuk mencari kepuasan yang lain. Amanda mengatakan, di sektor apa pun pekerjaannya, seorang perempuan harus menempati posisi di mana ia dibutuhkan.
“Wanita itu bagian integral dari perkembangan zaman. Sekarang posisi tawarnya sama dengan laki-laki. Saya tidak melihat ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal bekerja. Saya senang kalau bisa berbagi dengan yang lain dan menyemangati sesama perempuan,” pungkasnya. (Ananda Nararya)
Adalah Athanasia Amanda Septevani yang akan membuktikan apakah nanoselulosa yang dibuat menjadi film transparan mampu menjadi layar alat-alat elektronik. Bagaimana tema penelitian ini bermula hingga meraih penghargaan dan pendanaan dari L’Oreal for Women in Science? Simak cerita wanita yang akrab dengan sapaan Amanda tersebut berikut ini.
Apa yang Anda akan teliti dan bagaimana cara kerjanya?
Judul penelitian yang akan saya lakukan adalah “Pengembangan Nanopaper Berbasis Biomassa Serat Nanoselulosa Alami sebagai Layar/Display Perangkat Elektronik Masa Depan”. Ponsel kita kan ada layarnya.
Nah, saya berusaha mengembangkan material baru yang bisa dipakai sebagai layar ponsel. Sebenarnya tidak hanya terbatas untuk ponsel, tapi bisa sebagai layar laptop atau bahkan TV juga bisa. Sekarang layar yang ada di pasaran mayoritas tipe yang bahannya dari gelas. Makanya kalau jatuh mudah sekali retak.
Sekarang memang sudah banyak bahan layar yang beralih ke polimer. Bahannya lebih fleksibel, tetapi polimernya masih sintetis, jadi masih menggunakan bahan-bahan dari petrokimia yang tidak dapat diperbarui. Penelitian saya ini berusaha membuat nanopaper dari selulosa yang berasal dari limbah biomassa yang melimpah jumlahnya dan tentu sumbernya dapat diperbarui.
Selulosa diisolasi dan diproses secara kimia menjadi nanoselulosa. Nah, nanoselulosa ini kemudian diproses lebih lanjut menjadi lembaran tipis yang transparan yang dikenal sebagai “nanopaper”. Hampir sama seperti kertas, tapi nanopaper (nanokertas) itu transparan sifatnya karena dia dalam skala nano.
Untuk aplikasinya diharapkan dapat berfungsi sebagai layar/screen ponsel atau alat-alat elektronik lain. Penelitian saya ini memanfaatkan limbah biomassa dari tandan kosong kelapa sawit dan tongkol jagung.
Sebenarnya banyak biomassa lain asalkan mengandung selulosa yang cukup banyak sehingga dapat direkayasa atau dimodifikasi dengan lebih mudah jadi film transparan. Sebenarnya selulosa dapat ditemukan di segala macam tumbuhan di daun maupun batang misalnya. Tergantung sumbernya.
Kalau di batang karena warnanya cokelat tua, artinya selulosa lebih sedikit. Adapun pada daun selulosanya lebih banyak, tetapi selulosa pada tumbuhan ini masih dalam skala mikrometer. Jika belum dibuat nano, bentuknya seperti serat panjang dan masih dapat terlihat dengan mata telanjang.
Kalau sudah jadi nanoselulosa bentuknya sangat kecil seperti jarum dan transparan. Karena bahan mentah penelitian saya dari limbah-limbah pertanian/perkebunan di Indonesia, oleh karenanya melalui penelitian ini diharapkan layar pada perangkat elektronik dapat diproduksi sendiri di Indonesia dengan harga yang relatif murah karena menggunakan limbah produksi yang tidak ada manfaat sama sekali untuk direkayasa menjadi produk material maju yang tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi dari bahan baku itu sendiri, tetapi juga mewujudkan kemandirian teknologi inovasi nasional. Bahkan mimpi saya produk nanopaper ini mampu bersaing dengan produk hasil penelitian internasional.
Bagaimana terpikir untuk meneliti ini?
Saya mulai mempelajari dan meneliti nanoselulosa sejak studi S-3 dan ternyata nanoselulosa aplikasinya luar biasa banyak. Saat ini saya sedang mengembangkan berbagai aplikasi, salah satunya untuk film transparan ini, yaitu yang dapat digunakan sebagai layar alat elektronik.
Saat studi S-3 dulu, saya membuat suatu material insulasi dari nanoselulosa yang dapat digunakan untuk menjaga suhu ruangan tanpa menggunakan heater ataupun AC sekalipun. Setelah berhasil mendapatkan gelar doctor of philosophy di bidang material science di University of Queensland, Australia, saya kembali bekerja di LIPI dan berusaha mengaplikasikan penelitian yang telah saya dalami di Australia.
Saya berusaha mencari, penelitian apa yang kira-kira kita butuhkan di Indonesia. Kalau melanjutkan aplikasi sebagai material insulasi seperti penelitian S-3 saya, tentu kurang relevan dan aplikatif di Indonesia mengingat musim yang tidak berbeda secara ekstrem di Indonesia.
Akhirnya, pemikiran awal saya, yang paling pas untuk dapat diaplikasikan di Indonesia adalah untuk layar alat elektronik. Indonesia merupakan salah satu target negara dengan pasar raksasa untuk produk elektronik di dunia. Sebagai contoh, Indonesia merupakan pasar smartphone terbesar ketiga di Asia-Pasifik.
Sangat disayangkan apabila pasar yang sangat besar ini hanya didominasi produk atau bahan baku produk dari luar negeri, ditambah lagi layar/screen pada perangkat elektronik merupakan komponen utama yang mahal dan memiliki fungsi penting.
Ini adalah pengalaman saya yang pertama kali untuk mencoba bagaimana membuat film transparan dari nanoselulosa. Oleh karena itu saya masih sering berkonsultasi dengan kolega saya di Australia seperti profesor, supervisor, serta teman-teman post-doc di kampus tempat saya menimba ilmu S-3 dulu.
Harapan penelitian ini?
Saya berhasil mengembangkan nanoselulosa dari limbah-limbah pertanian/perkebunan yang tidak bermanfaat menjadi sebuah material nano yang dapat dimanfaatkan sebagai layar/screen ponsel atau alat-alat elektronik lain.
Di Indonesia pengelolaan limbah masih kurang optimal, padahal limbah-limbah itu masih banyak sekali jumlahnya. Indonesia adalah negara produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Minyak sawit yang dihasilkan banyak, maka otomatis limbahnya pun tak kalah banyak.
Diharapkan penelitian ini bisa ikut membantu mengatasi pengelolaan limbah yang jumlahnya luar biasa banyak serta meningkatkan nilai jual limbah. Harapan saya selanjutnya, kita juga tidak kalah bersaing karena pengembangan layar elektronik dari biomassa yang masih relatif sangat baru.
Jika kita mengembangkan saat ini juga, kita tidak akan telat bersaing dengan dunia internasional. Walaupun penelitian ini baru dimulai dan memang masih jauh perjalanannya, harapan kita agar nanti produk ini bisa diaplikasikan untuk jadi layar alat elektronik dan bahkan berkontribusi secara efektif pada pengembangan teknologi layar elektronik di masa depan secara nasional maupun internasional.
Pandangan Anda terhadap peneliti perempuan di Indonesia?
Sudah banyak sekali. Kalau di kantor saya, ruang lingkup terdekat saya di jurusan kimia, paling banyak ya wanita. Di laboratorium saya, laki-lakinya hanya dua orang. Menurut saya, jadi peneliti memang fleksibel sehingga sangat cocok untuk perempuan agar bisa mengerjakan pekerjaan lain.
Peneliti bukan pekerja harian yang pekerjaannya harus selesai hari ini. Kami bekerja by term, ada jangka waktu, misalnya setahun waktu penelitian. Ya selama setahun itu kita bisa mengatur waktu sendiri agar dapat maksimal.
Apakah profesi peneliti menjadi yang diminati oleh generasi muda masa kini?
Tergantung orangnya. Tapi gambaran mengenai pekerjaan peneliti itu bagi anak zaman sekarang adalah seseorang yang selalu bekerja di balik tumpukan kertas atau selalu di laboratorium. Padahal sebenarnya tidak. Makanya kami di LIPI sering mengadakan roadshow ke sekolah atau mengadakan science expo.
Menunjukkan kepada khalayak peneliti itu seperti apa. Banyak anak dan remaja yang berinteraksi, ada kompetisi science juga. Hal ini untuk membuka pandangan orang bahwa jadi peneliti itu asyik dan menyenangkan.
Apa pesan Anda bagi calon peneliti atau peneliti muda?
Memang jadi peneliti itu butuh komitmen sehingga membutuhkan ketekunan dalam menjalaninya. Harus siap gagal, jadi punya sikap tidak pantang menyerah karena penelitian tanpa kegagalan itu tidak akan jadi sebuah penelitian. Namanya juga research ya harus re atau mengulang. Percaya saja suatu hari nanti ada hasil. Jangan berhenti berjuang.
Harapan Anda untuk peneliti dan sains di Indonesia?
Dengan segala keterbatasan yang ada karena mungkin peneliti di Indonesia masih kurang diperhatikan, para peneliti harus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kita mampu bersaing.
Bahagia Menjadi Peneliti
Amanda menemukan passion dan kebahagiaan setelah menjadi peneliti. Bukan hanya karena bisa bekerja sesuai latar belakang pendidikannya, kini dia juga dapat berkiprah untuk negara.
Setelah meraih gelar sarjana, Amanda pernah bekerja di sektor industri di Singapura sebagai supervisor produksi. Mapan dan memiliki karier bagus bukan jaminan untuk bertahan, apalagi bila harus tinggal di negeri orang. Masih ada sesuatu yang ingin dicarinya.
Setelah nekat berhenti dari perusahaannya dan melamar bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di sinilah kenyamanan mulai dirasakan Amanda. “Namanya bekerja, pasti penuh tekanan. Kalau dulu benarbenar tertekan.
Hidup untuk bekerja, sampai akhir pekan juga kerja karena ada target. Setelah jadi peneliti, tertekan juga, tapi saya sangat menikmati,” ungkap Amanda. Suka-duka menjadi peneliti memang dinikmati Amanda, seperti harus membuat jurnal ketika selesai meneliti.
Peneliti mesti menuliskannya dalam suatu publikasi paper. Paper tersebut harus bisa dipublikasikan di jurnal ternama, terkadang tentu mengalami penolakan. Namun, semua tantangan dapat dilalui, bahkan terbayar dengan rasa puas jika penelitiannya dapat dijadikan referensi atau bermanfaat bagi banyak orang.
Semua tekanan dihadapi Amanda dengan bahagia. Baginya, hidup bukan hanya soal mendulang materi, tapi ada satu titik tertentu untuk mencari kepuasan yang lain. Amanda mengatakan, di sektor apa pun pekerjaannya, seorang perempuan harus menempati posisi di mana ia dibutuhkan.
“Wanita itu bagian integral dari perkembangan zaman. Sekarang posisi tawarnya sama dengan laki-laki. Saya tidak melihat ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal bekerja. Saya senang kalau bisa berbagi dengan yang lain dan menyemangati sesama perempuan,” pungkasnya. (Ananda Nararya)
(nfl)