Revolusi Kendaraan EV Dipastikan Tak Akan Berjalan Tanpa China

Selasa, 05 Februari 2019 - 16:16 WIB
Revolusi Kendaraan EV Dipastikan Tak Akan Berjalan Tanpa China
Revolusi Kendaraan EV Dipastikan Tak Akan Berjalan Tanpa China
A A A
BEIJING - Saat ini dipastikan semua produsen mobil listrik berlomba-berlomba membuat mobil listrik. Namun perlu disadari industri EV tak akan terwujud
tanpa adanya kobalt bahan dasar batarai kendaraan listrik.

Seperti dilansir dari Autopro Selasa (5/2/2018), Berbagai bentuk EV diproduksi dengan berbagai teknologi yang digunakan tetapi yang pasti adalah salah satu bahan paling penting dalam pembuatan baterai lithium-ion yang digunakan oleh semua EV sekarang adalah kobalt.

Sebagian besar kobal yang diolah menjadi kobalt suifida dibeli dari perusahaan seperti Glencore Plc dan Vale SA (Vale juga memiliki pabrik di Manjung, Perak), bahan kobalt mentah dibeli dari tambang di seluruh dunia.

Produsen kobalt terbesar di dunia sekarang berasal dari Kongo, di mana ia menghasilkan dua pertiga dari produksi dunia.

Ada 14 tambang kobalt di Kongo dan perusahaan China memiliki delapan tambang.

Perusahaan China juga mengendalikan 80 persen pabrik yang memproduksi bahan kimia yang dibutuhkan dalam proses penambangan bahan baku.

Perusahaan-perusahaan China sekarang juga mengendalikan pabrik pemrosesan kobalt dunia dan karenanya 57 persen katoda baterai NMC untuk EV diproduksi di China.

Namun Tesla menggunakan katoda baterai NCA yang menggunakan konten kobalt rendah dan Tesla mendapatkan pasokannya dari Jepang.

Di seluruh dunia, semakin banyak negara yang berencana untuk menghentikan produksi mobil berbahan bakar bensin dan diesel dan mendorong sektor manufaktur untuk merancang strategi supaya bisa memenuhi permintaan kendaraan listrik.

Pada bulan Desember, Glencore, raksasa Tambang asal Swiss, mengatakan pihaknya sempat berdiskusi dengan Volkswagen dan Tesla untuk memasok kobalt ke mereka, menurut direktur pelaksana perusahaan, Ivan Glasenberg.

Sementara produsen kendaraan listrik terkemuka Tesla tetap berhati-hati dalam mengungkapkan kebutuhan bahan mentahnya, pemberitaan menyebutkan bahwa negosiasi Volkswagen dengan produsen kobalt telah rampung.

Untuk menanggapi permintaan tersebut, Glencore mengumumkan pada akhir 2017 bahwa pihaknya akan menghasilkan sekitar 63.000 ton kobalt di tahun 2020, suatu peningkatan drastis dibanding produksi sebesar 27.000 ton di tahun 2017.

Alasan lain dari tumbuhnya minat pasar ini adalah sebagian besar kobalt dihasilkan oleh tambang tembaga dan nikel.

Kandungan kobalt pada setiap ton bijih yang ditambang sangat kecil sehingga perlu konsentrasi tinggi agar aktivitas penambangan dapat membuahkan hasil.

“Alhasil, cadangan global kobalt tergantung pada kelangsungan ekonomi di tambang tembaga dan nikel,” para analis di Natixis memperingatkan.

Maka dari itu, turunnya harga tembaga dan nikel dapat menghambat operasi kobalt yang sudah ada sebelum tambang-tambang lain dapat dibawa secara online untuk mengkompensasi penurunan produksi.

Sebagai tambahan, lebih dari setengah produksi tambang kobalt berasal dari Republik Demokratik Kongo di tahun 2017.

Negara itu, karena dihadapkan pada permintaan yang meningkat, berencana untuk menaikkan pajak logamnya hingga lima kali lipat yang mengejutkan berbagai sektor terkait.

Beberapa kalangan percaya harga harian yang diatur oleh LME bisa jadi telah terlalu tinggi menaksir potensi kobalt.

Harga LME hanya mencerminkan bagian nilai asli dari logam karena bursa kobalt sebagian besar berada di luar pasar publik.

Darton Commodities berargumen investor keuangan, yang terpikat oleh potensi kendaraan listrik, bisa saja menciptakan demam pasar.
(wbs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8824 seconds (0.1#10.140)