Peta Persaingan Gojek dan Grab Dalam Ekpansi Regional
A
A
A
JAKARTA - Unicorn terbesar di Indonesia, Gojek, melanjutkan persaingannya dalam ekspansi regional berhadapan-hadapan dengan pesaingnya, Grab. Secara umum, Grab berada beberapa langkah di depan sementara Gojek masih tertatih-tatih untuk bertahan dalam persaingan ini.
Ekspansi regional Gojek dimulai pada 2018, dimulai dengan soft launching Go-Viet di Vietnam, peluncuran Gojek di Singapura pada 2018, dan peluncuran Get, brand Gojek di Thailand, pada Februari 2019.
Setelah setahun ekspansi itu berjalan, bagaimana situasinya kini?
Tak dapat dipungkiri jalan masih terjal bagi ekspansi Gojek di sejumlah negara. Belum lama ini kita mendengar Gojek tidak mendapat izin untuk beroperasi di Filipina. Data riset pun menunjukkan ketertinggalan mereka dalam penguasaan pangsa pasar.
ABI Research merilis data bahwa di Indonesia sendiri Gojek hanya menguasai 35,3% pangsa pasar, tertinggal dari Grab yang telah meraup 63,6% kue ride hailing. Gambar sama juga bisa kita lihat di Vietnam, Gojek hanya mampu menjangkau 10,3% dibanding Grab 72,9%.
Alex Le, CEO Jetspree, mengatakan bahwa industri ride-hailing di Asia Tenggara yang telah masuk ke fase maturity menjadi salah satu faktor yang membuat Gojek tersengal-sengal dalam ekspansi regionalnya.
“Model bisnis ride-hailing sebenarnya sederhana. Subsidi dan diskon pada awal operasi telah memungkinkan Grab, dan pemain lama seperti Easy Taxi atau Uber, mencaplok pangsa pasar yang besar,” papar Alex, yang telah membangun ventura di Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Bisnis Gojek yang lamban dalam transportasi online di pasar baru di Asia Tenggara membuatnya sulit untuk meluncurkan rangkaian layanan lainnya yang tersedia di Indonesia. Ini karena biaya akuisisi pelanggan baru untuk pengiriman makanan atau paket menjadi lebih mahal ketika Gojek tidak memiliki basis pengguna aplikasinya.
“Ini pada gilirannya membuat ‘situasi ayam atau telur’ di mana kurangnya layanan lain pada platform Anda, membuat platform Anda kurang menarik,” papar Alex.
Situasi yang sama pernah dihadapi WeChat ketika keluar dari kandangnya di negeri Tirai Bambu atau ketika Easy Taxi berekspansi keluar Brazil.
“Sulit bagi perusahaan teknologi yang sudah besar di kandangnya untuk berekspansi karena produk, operasi, struktur tim, prioritasnya sudah sangat terpaku dengan pasar dalam negerinya. Ekspansi ke pasar baru butuh lebih dari sekadar uang,” tambah Alex lagi.
Bicara soal uang, Gojek pun masih harus melompati jurang yang menganga. Tahun ini, Grab telah mendapat investasi hampir USD 5 miliar sementara Gojek masih berkutat pada target USD 2 miliar. Grab sendiri telah melipatgandakan komitmennya dengan investasi sebesar USD 2 miliar di Indonesia dan USD 500 juta di Vietnam, yang rasanya sulit dikejar oleh Gojek.
Bukannya Gojek tidak mencoba beradaptasi. Perusahaan ini mencoba menggunakan merek baru, Go-Viet di Vietnam dan Get di Thailand. Namun, yang dapat kita lihat operasi di Vietnam tidak berjalan baik dengan mundurnya CEO kedua dalam beberapa bulan.
“Pertanyaan yang dihadapi operasi lokal seperti Go-Viet adalah bagaimana struktur komando yang akan dijalankan? Seberapa banyak kepercayaan yang Anda tempatkan pada tim lokal? Banyak, terlalu banyak, sedikit, atau malah terlalu sedikit? Sampai tingkat mana mereka dapat membuat keputusan, dengan sumber daya apa yang mereka miliki?” tanya Alex.
Perjalanan ekspansi regional tampaknya belum akan landai bagi Gojek. Dengan tidak adanya traction yang signifikan di tahun ini, sulit bagi Gojek untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik di masing-masing pasar. Mereka menghadapi persaingan di dua medan: bertarung dengan Grab yang terus melakukan pendalaman pasar di Indonesia sekaligus bertarung di Asia Tenggara dengan posisi yang kurang tertinggal.
“Apalagi mereka baru saja ditinggalkan pendirinya, Nadiem Makarim. Kita lihat bagaimana tahun depan,” Alex menutup pemaparannya.
Ekspansi regional Gojek dimulai pada 2018, dimulai dengan soft launching Go-Viet di Vietnam, peluncuran Gojek di Singapura pada 2018, dan peluncuran Get, brand Gojek di Thailand, pada Februari 2019.
Setelah setahun ekspansi itu berjalan, bagaimana situasinya kini?
Tak dapat dipungkiri jalan masih terjal bagi ekspansi Gojek di sejumlah negara. Belum lama ini kita mendengar Gojek tidak mendapat izin untuk beroperasi di Filipina. Data riset pun menunjukkan ketertinggalan mereka dalam penguasaan pangsa pasar.
ABI Research merilis data bahwa di Indonesia sendiri Gojek hanya menguasai 35,3% pangsa pasar, tertinggal dari Grab yang telah meraup 63,6% kue ride hailing. Gambar sama juga bisa kita lihat di Vietnam, Gojek hanya mampu menjangkau 10,3% dibanding Grab 72,9%.
Alex Le, CEO Jetspree, mengatakan bahwa industri ride-hailing di Asia Tenggara yang telah masuk ke fase maturity menjadi salah satu faktor yang membuat Gojek tersengal-sengal dalam ekspansi regionalnya.
“Model bisnis ride-hailing sebenarnya sederhana. Subsidi dan diskon pada awal operasi telah memungkinkan Grab, dan pemain lama seperti Easy Taxi atau Uber, mencaplok pangsa pasar yang besar,” papar Alex, yang telah membangun ventura di Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Bisnis Gojek yang lamban dalam transportasi online di pasar baru di Asia Tenggara membuatnya sulit untuk meluncurkan rangkaian layanan lainnya yang tersedia di Indonesia. Ini karena biaya akuisisi pelanggan baru untuk pengiriman makanan atau paket menjadi lebih mahal ketika Gojek tidak memiliki basis pengguna aplikasinya.
“Ini pada gilirannya membuat ‘situasi ayam atau telur’ di mana kurangnya layanan lain pada platform Anda, membuat platform Anda kurang menarik,” papar Alex.
Situasi yang sama pernah dihadapi WeChat ketika keluar dari kandangnya di negeri Tirai Bambu atau ketika Easy Taxi berekspansi keluar Brazil.
“Sulit bagi perusahaan teknologi yang sudah besar di kandangnya untuk berekspansi karena produk, operasi, struktur tim, prioritasnya sudah sangat terpaku dengan pasar dalam negerinya. Ekspansi ke pasar baru butuh lebih dari sekadar uang,” tambah Alex lagi.
Bicara soal uang, Gojek pun masih harus melompati jurang yang menganga. Tahun ini, Grab telah mendapat investasi hampir USD 5 miliar sementara Gojek masih berkutat pada target USD 2 miliar. Grab sendiri telah melipatgandakan komitmennya dengan investasi sebesar USD 2 miliar di Indonesia dan USD 500 juta di Vietnam, yang rasanya sulit dikejar oleh Gojek.
Bukannya Gojek tidak mencoba beradaptasi. Perusahaan ini mencoba menggunakan merek baru, Go-Viet di Vietnam dan Get di Thailand. Namun, yang dapat kita lihat operasi di Vietnam tidak berjalan baik dengan mundurnya CEO kedua dalam beberapa bulan.
“Pertanyaan yang dihadapi operasi lokal seperti Go-Viet adalah bagaimana struktur komando yang akan dijalankan? Seberapa banyak kepercayaan yang Anda tempatkan pada tim lokal? Banyak, terlalu banyak, sedikit, atau malah terlalu sedikit? Sampai tingkat mana mereka dapat membuat keputusan, dengan sumber daya apa yang mereka miliki?” tanya Alex.
Perjalanan ekspansi regional tampaknya belum akan landai bagi Gojek. Dengan tidak adanya traction yang signifikan di tahun ini, sulit bagi Gojek untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik di masing-masing pasar. Mereka menghadapi persaingan di dua medan: bertarung dengan Grab yang terus melakukan pendalaman pasar di Indonesia sekaligus bertarung di Asia Tenggara dengan posisi yang kurang tertinggal.
“Apalagi mereka baru saja ditinggalkan pendirinya, Nadiem Makarim. Kita lihat bagaimana tahun depan,” Alex menutup pemaparannya.
(wbs)