Luhut Sebut Kekurangan Baterai LFP Tak Bisa Didaur Ulang, Beda dengan Nikel
Jum'at, 26 Januari 2024 - 09:00 WIB
JAKARTA - Baterai LFP (Lithium Iron Phospahate) masih ramai menjadi pembahasan usai disingguh dalam debat cawapres, Minggu (21/1/2024). Baterai tersebut dikatakan tidak lagi menggunakan nikel yang banyak terkandung di Indonesia.
Seperti diketahui, nikel menjadi salah satu bahan baku baterai, seperti jenis lithium-ion atau NMC (nikel mangan kobalt). Namun, harganya yang cukup mahal membuat sejumlah pabrikan beralih menggunakan baterai jenis LFP untuk mobil listrik mereka.
Produsen asal China saat ini yang paling banyak menggunakan baterai LFP untuk kendaraan listrik mereka. Padahal, ada kerugian dari penggunaan baterai LFP untuk masa depan lingkungan.
Sementara nikel memiliki sejumlah keunggulan jika digunakan untuk baterai kendaraan listrik, salah satunya dapat didaur ulang. Hal itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
“Selain itu publik perlu tahu bahwa lithium baterai berbasis nikel itu bisa didaur ulang, sedangkan baterai LFP sejauh ini masih belum bisa didaur ulang. Tetapi sekali lagi teknologi itu terus berkembang,” ujar Luhut dikutip dari Instagram resminya.
“Kita bersyukur LFP juga kita kembangkan dengan China, tadi lithium battery juga kita kembangkan dengan China maupun dengan lain-lain,” sambungnya.
Baterau NMC sebenarnya lebih disukai oleh produsen mobil. Sayangnya, bahan baku yang digunakan memiliki harga yang mahal, dan terbatas pasokannya, termasuk kobalt, nikel, dan litium.
Kekhawatiran mengenai ketersediaan material, sumber daya yang etis, dan biaya telah mendorong banyak produsen mobil beralih ke LFP bebas kobalt dan nikel. Hasilnya, penggunaan baterai LFP meningkat sejak 2020.
Untuk itu, Luhut meminta semua pihak bisa menjaga pasokan nikel agar harga jualnya tidak terlalu tinggi. Menurutnya, hal tersebut bisa berbahaya karena tidak ada lagi produsen baterai yang ingin menggunakan nikel.
“Kalau harga nikel terlalu tinggi sangat berbahaya. Kita belajar dari kasus cobalt tiga tahun lalu di mana harganya terlalu tinggi. Sehingga orang mencari bentuk baterai lain. Ini salah satu pemicu lahirnya lithium ferro phosphate (LFP),” kata Luhut.
“Jadi, jika kita bikin harga itu (nikel) ketinggian orang akan cari alternatif lain. Perkembangan teknologi itu sangat cepat,”lanjutnya.
Seperti diketahui, nikel menjadi salah satu bahan baku baterai, seperti jenis lithium-ion atau NMC (nikel mangan kobalt). Namun, harganya yang cukup mahal membuat sejumlah pabrikan beralih menggunakan baterai jenis LFP untuk mobil listrik mereka.
Produsen asal China saat ini yang paling banyak menggunakan baterai LFP untuk kendaraan listrik mereka. Padahal, ada kerugian dari penggunaan baterai LFP untuk masa depan lingkungan.
Sementara nikel memiliki sejumlah keunggulan jika digunakan untuk baterai kendaraan listrik, salah satunya dapat didaur ulang. Hal itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
“Selain itu publik perlu tahu bahwa lithium baterai berbasis nikel itu bisa didaur ulang, sedangkan baterai LFP sejauh ini masih belum bisa didaur ulang. Tetapi sekali lagi teknologi itu terus berkembang,” ujar Luhut dikutip dari Instagram resminya.
“Kita bersyukur LFP juga kita kembangkan dengan China, tadi lithium battery juga kita kembangkan dengan China maupun dengan lain-lain,” sambungnya.
Baterau NMC sebenarnya lebih disukai oleh produsen mobil. Sayangnya, bahan baku yang digunakan memiliki harga yang mahal, dan terbatas pasokannya, termasuk kobalt, nikel, dan litium.
Kekhawatiran mengenai ketersediaan material, sumber daya yang etis, dan biaya telah mendorong banyak produsen mobil beralih ke LFP bebas kobalt dan nikel. Hasilnya, penggunaan baterai LFP meningkat sejak 2020.
Untuk itu, Luhut meminta semua pihak bisa menjaga pasokan nikel agar harga jualnya tidak terlalu tinggi. Menurutnya, hal tersebut bisa berbahaya karena tidak ada lagi produsen baterai yang ingin menggunakan nikel.
“Kalau harga nikel terlalu tinggi sangat berbahaya. Kita belajar dari kasus cobalt tiga tahun lalu di mana harganya terlalu tinggi. Sehingga orang mencari bentuk baterai lain. Ini salah satu pemicu lahirnya lithium ferro phosphate (LFP),” kata Luhut.
“Jadi, jika kita bikin harga itu (nikel) ketinggian orang akan cari alternatif lain. Perkembangan teknologi itu sangat cepat,”lanjutnya.
(dan)
tulis komentar anda