Menakar Pasar Mobil Niaga Listrik di Indonesia, Seksi tapi Masih Niche
loading...
A
A
A
JAKARTA - Memang tren ini baru saja mulai: kendaraan listrik yang menyasar pasar fleet untuk instansi/perusahaan. Karena masih baru, beberapa perusahaan masih coba-coba. Masih menghitung plus dan minusnya dalam jangka panjang.
Apa alasan terbesar perusahaan harus membeli mobil listrik untuk kendaraan operasional mereka?
Mengapa, misalnya mereka harus membeli DFSK Gelora E yang harganya bisa ditukar dengan 2 unit Grand Max Blindvan?
Pertimbangan utamanya adalah soal biaya operasional. Seharusnya, dengan kendaraan listrik biaya BBM bisa ditekan hampir 30-50 persen lebih murah, termasuk juga biaya servis dan lainnya.
Tapi, masih banyak parameter-parameter lain yang harus di tes dulu dalam jangka panjang terhadap kendaraan listrik yang menyasar armada fleet seperti DFSK Gelora E ini. Mulai durabilitas, efektivitas waktu (ngecas), harga jual kembali, ketersediaan suku cadang, dan lainnya.
Karena itu, sekarang perusahaan di Indonesia masih dalam tahap coba-coba. Beli beberapa unit, dan melihat seperti apa hasilnya dalam jangka panjang.
Rivian Electric Delivery Vehicle (EDV), nama mobil itu, sudah digunakan di 100 kota di Amerika tahun ini. Pada 2030 mendatang, targetnya akan ada 100.000 unit mobil listrik Amazon yang beroperasi.
Mobil listrik berdampak ke emisi karbon (nol emisi), yang terkait erat ke isu Perubahan Iklim (Climate Chage), yang jadi isu seksi bagi perusahaan.
Apalagi dampak Climate Change semakin dirasakan, seperti gelombang panas yang ada sekarang. Karena itu, bisa dibilang pasar kendaraan niaga listrik kedepannya diperkirakan bakal terus membesar.
Marketing Head PT Sokonindo Automobile Achmad Rofiqi mengatakan, permintaan terhadap mobil listrik niaga DFSK Gelora E memang terus mengalami pertumbuhan.
“Kami mendapat permintaan dari Jawa hingga wilayah seperti Lampung hingga Medan. Ini seiring peralihan ke kendaraan listrik yang terus digaungkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Rakitan Lokal, Harga Lebih Murah
Achmad Rofiqi menyebut bahwa pihaknya terus berbenah untuk membuat produk kendaraan listrik komersial yang sesuai kebutuhan pasar Indonesia. Salah satunya, dengan merakit lokal DFSK Gelora E di pabrik Cikande, Serang, Banten.
“Pabrik itu mampu memproduksi 50 ribu unit setahun, sudah didukung teknologi robotik hingga 90 persen proses produksi,” klaimnya.
Gara-gara rakitan lokal itu, harga DFSK Gelora E yang sebelumnya dipasarkan di harga Rp480 juta-Rp580 juta bisa turun hingga Rp350 juta (blind van) dan Rp399 juta (minibus).
”Hingga 1.000 unit pertama, kami juga memberikan dukungan seperti pelatihan untuk pengemudi dan mekanik. Juga, wall charger gratis sampai akhir tahun,” beber Rofiqi.
Hingga April 2023, DFSK Gelora E baru terjual sekitar 100 unit. Pembelinya rata-rata perusahaan logistik.
Meski harganya sudah lebih terjangkau, namun DFSK Gelora E masih punya PR besar untuk meyakinkan perusahaan terkait apa saja keuntungan yang akan didapat dengan beralih ke kendaraan listrik.
Kompetitor terbesar mereka adalah Esemka Bima EV, yang ditawarkan dengan harga jauh lebih mahal, yakni Rp530 juta (Cargo Van) dan Rp540juta(Minibus).
Apa alasan terbesar perusahaan harus membeli mobil listrik untuk kendaraan operasional mereka?
Mengapa, misalnya mereka harus membeli DFSK Gelora E yang harganya bisa ditukar dengan 2 unit Grand Max Blindvan?
Pertimbangan utamanya adalah soal biaya operasional. Seharusnya, dengan kendaraan listrik biaya BBM bisa ditekan hampir 30-50 persen lebih murah, termasuk juga biaya servis dan lainnya.
Tapi, masih banyak parameter-parameter lain yang harus di tes dulu dalam jangka panjang terhadap kendaraan listrik yang menyasar armada fleet seperti DFSK Gelora E ini. Mulai durabilitas, efektivitas waktu (ngecas), harga jual kembali, ketersediaan suku cadang, dan lainnya.
Karena itu, sekarang perusahaan di Indonesia masih dalam tahap coba-coba. Beli beberapa unit, dan melihat seperti apa hasilnya dalam jangka panjang.
Terkait Isu Lingkungan
Peralihan ke kendaraan listrik memang tidak hanya di pasar konsumen saja. Tapi, juga ke kendaraan komersial atau niaga. Berkaca dari Amerika, perusahaan seperti Amazon sudah bekerja sama dengan pabrikan mobil listrik Rivian untuk bikin mobil mini bus/van elektrik.Rivian Electric Delivery Vehicle (EDV), nama mobil itu, sudah digunakan di 100 kota di Amerika tahun ini. Pada 2030 mendatang, targetnya akan ada 100.000 unit mobil listrik Amazon yang beroperasi.
Mobil listrik berdampak ke emisi karbon (nol emisi), yang terkait erat ke isu Perubahan Iklim (Climate Chage), yang jadi isu seksi bagi perusahaan.
Apalagi dampak Climate Change semakin dirasakan, seperti gelombang panas yang ada sekarang. Karena itu, bisa dibilang pasar kendaraan niaga listrik kedepannya diperkirakan bakal terus membesar.
Marketing Head PT Sokonindo Automobile Achmad Rofiqi mengatakan, permintaan terhadap mobil listrik niaga DFSK Gelora E memang terus mengalami pertumbuhan.
“Kami mendapat permintaan dari Jawa hingga wilayah seperti Lampung hingga Medan. Ini seiring peralihan ke kendaraan listrik yang terus digaungkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Rakitan Lokal, Harga Lebih Murah
Achmad Rofiqi menyebut bahwa pihaknya terus berbenah untuk membuat produk kendaraan listrik komersial yang sesuai kebutuhan pasar Indonesia. Salah satunya, dengan merakit lokal DFSK Gelora E di pabrik Cikande, Serang, Banten.“Pabrik itu mampu memproduksi 50 ribu unit setahun, sudah didukung teknologi robotik hingga 90 persen proses produksi,” klaimnya.
Gara-gara rakitan lokal itu, harga DFSK Gelora E yang sebelumnya dipasarkan di harga Rp480 juta-Rp580 juta bisa turun hingga Rp350 juta (blind van) dan Rp399 juta (minibus).
”Hingga 1.000 unit pertama, kami juga memberikan dukungan seperti pelatihan untuk pengemudi dan mekanik. Juga, wall charger gratis sampai akhir tahun,” beber Rofiqi.
Hingga April 2023, DFSK Gelora E baru terjual sekitar 100 unit. Pembelinya rata-rata perusahaan logistik.
Meski harganya sudah lebih terjangkau, namun DFSK Gelora E masih punya PR besar untuk meyakinkan perusahaan terkait apa saja keuntungan yang akan didapat dengan beralih ke kendaraan listrik.
Kompetitor terbesar mereka adalah Esemka Bima EV, yang ditawarkan dengan harga jauh lebih mahal, yakni Rp530 juta (Cargo Van) dan Rp540juta(Minibus).
(dan)