Mobil Hemat Energi Melibas Dominasi Negara Maju
A
A
A
Mobil hemat energi ciptaan Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Sapuangin, benar-benar melibas teknologi dari berbagai negara di dunia.
Mobil “siluman” yang namanya terinspirasi dari kendaraan yang dipakai Sunan Kalijaga itu mampu mengerek pamor Indonesia di kancah dunia. Saat di dalam lintasan, laju Sapuangin terlihat dalam sekejap mata. Warna dominan hitam melaju kencang menantang rintangan. Dalam kancah internasional, Sapuangin dikenal sejak 2010 yang selalu menjadi momok bagi negara maju lainnya.
Teknologi mobil hemat energi dan melesat cepat begitu tersematkan. Terakhir, kejuaraan dunia tingkat internasional Shell Eco Marathon Driversí World Championship (DWC) 2018 yang digelar di Sirkuit Queen Elizabeth Olympic Park, London, Inggris menjadi pembuktian kapasitas Sapuangin di level dunia.
Sapuangin merupakan mobil legendaris kreasi dari mahasiswa ITS. Kerja sama yang digagas dari mahasiswa antarjurusan di ITS mampu menciptakan mobil yang menjadi momok bagi negara maju di dunia. Sejak 2010, Sapuangin tak pernah berhenti untuk menorehkan prestasi di level internasional.
General Manager Tim Sapuangin ITS Rafi Rasyad menuturkan, Sapuangin berawal ketika ada tantangan dari berbagai negara tentang inovasi mobil yang hemat energi. Waktu itu, belum ada perwakilan dari Indonesia yang mengikuti perlombaan Shell Eco Marathon . Sebuah ajang bergengsi bagi mobil hemat energi. Pada ajang itu, para mahasiswa dituntut untuk membuat mobil hemat energi yang menjadi masa depan dunia.
“Kami akhirnya melakukan riset mobil hemat energi. Tekad bersama yang dikembangkan oleh para mahasiswa,” ujar Rafi, Minggu (12/8/2018).
Kompetisi Shell Eco Marathon pun diikuti, lalu disusul Indonesia Energy Marathon Challenge atau yang sekarang berubah nama menjadi Kontes Mobil Hemat Energi yang digagas Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi.
Setelah berhasil dengan mobil hemat energi, lanjutnya, Sapuangin kembali ditantang untuk membuat mobil yang hemat sekaligus berkecepatan tinggi. Maka sejak 2016 di Drivers World Championship, Sapuangin mencoba untuk melibas mobil buatan mahasiswa dari Eropa, Amerika, dan Asia. Mobil-mobil yang hadir dalam kompetisi ini berasal dari tiga benua: Asia, Amerika, dan Eropa.
Sampai sekarang,ITS sudah mendesain sekitar 12 mobil hemat dan 6 mobil formula. “Sekarang ini generasi ke-9. Baru pada September nanti akan ada ganti kepengurusan, yang nantinya ada generasi baru lagi dalam teknologi Sapuangin,” ucapnya.
Tim pengembangan mobil “siluman” ini digawangi 23 mahasiswa dan dua dosen pendamping. Mereka terbagi atas dua bidang teknis dan nonteknis yang memiliki fungsi untuk pengembangan secara masif. Dominasi pemikiran dan pengembangan tetap diserahkan pada para mahasiswa. Iklim pemikiran dua arah pun terjadi.
Para mahasiswa memainkan peran sebagai konseptor dan eksekutor, sementara dua do sen pendamping turut dalam pengembangan mobil hasil karya para mahasiswa. Regenerasi pun dilakukan tiap tahun. Untuk praktiknya, ada proses magang terlebih dahulu yang harus dijalani anggota baru. Biasanya masa keanggotaan di Sapuangin adalah dua tahun.
“Tapi di tiap tahun pasti ada yang baru sebab kepengurusan mahasiswa terdiri dari tahun keempat, tahun ketiga, dan tahun kedua perkuliahan. “Tim kami terdiri dari berbagai jurusan. Dari keseluruhan, 60% berasal dari anak teknik mesin. Sementara sisanya dari multijurusan yang ada di ITS,” ungkapnya.
Sapuangin juga dikenal lebih bijaksana dalam mengatur energi serta tepat mengeluarkan kecepatan. Regulasi kompetisi mobil hemat yang ketat membuat mereka lebih matang dalam mempersiapkan semuanya. Teknologi baru pun kerap digunakan dalam membongkar dapur pacu. Kalau dari mobil hemat, kecepatannya sekitar 0-70 km/jam serta biasanya top speed akan dibatasi.
Driver Tim Sapuangin ITS Moch Hafis Habibi mengatakan, kerja sama yang baik antara anggota tim, usaha, dan doa telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Mobil hemat energi harus bisa seimbang untuk memacu mesin dan memakai bahan bakar.
“Kami menjadi juara sebagai mobil tercepat dan terhemat, dan dapat mengalahkan tim Sask Eco UC dari Kanada dan tim INSA de Toulouse dari Prancis yang menempati posisi kedua dan ketiga,” ujarnya.
Mobil “siluman” yang namanya terinspirasi dari kendaraan yang dipakai Sunan Kalijaga itu mampu mengerek pamor Indonesia di kancah dunia. Saat di dalam lintasan, laju Sapuangin terlihat dalam sekejap mata. Warna dominan hitam melaju kencang menantang rintangan. Dalam kancah internasional, Sapuangin dikenal sejak 2010 yang selalu menjadi momok bagi negara maju lainnya.
Teknologi mobil hemat energi dan melesat cepat begitu tersematkan. Terakhir, kejuaraan dunia tingkat internasional Shell Eco Marathon Driversí World Championship (DWC) 2018 yang digelar di Sirkuit Queen Elizabeth Olympic Park, London, Inggris menjadi pembuktian kapasitas Sapuangin di level dunia.
Sapuangin merupakan mobil legendaris kreasi dari mahasiswa ITS. Kerja sama yang digagas dari mahasiswa antarjurusan di ITS mampu menciptakan mobil yang menjadi momok bagi negara maju di dunia. Sejak 2010, Sapuangin tak pernah berhenti untuk menorehkan prestasi di level internasional.
General Manager Tim Sapuangin ITS Rafi Rasyad menuturkan, Sapuangin berawal ketika ada tantangan dari berbagai negara tentang inovasi mobil yang hemat energi. Waktu itu, belum ada perwakilan dari Indonesia yang mengikuti perlombaan Shell Eco Marathon . Sebuah ajang bergengsi bagi mobil hemat energi. Pada ajang itu, para mahasiswa dituntut untuk membuat mobil hemat energi yang menjadi masa depan dunia.
“Kami akhirnya melakukan riset mobil hemat energi. Tekad bersama yang dikembangkan oleh para mahasiswa,” ujar Rafi, Minggu (12/8/2018).
Kompetisi Shell Eco Marathon pun diikuti, lalu disusul Indonesia Energy Marathon Challenge atau yang sekarang berubah nama menjadi Kontes Mobil Hemat Energi yang digagas Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi.
Setelah berhasil dengan mobil hemat energi, lanjutnya, Sapuangin kembali ditantang untuk membuat mobil yang hemat sekaligus berkecepatan tinggi. Maka sejak 2016 di Drivers World Championship, Sapuangin mencoba untuk melibas mobil buatan mahasiswa dari Eropa, Amerika, dan Asia. Mobil-mobil yang hadir dalam kompetisi ini berasal dari tiga benua: Asia, Amerika, dan Eropa.
Sampai sekarang,ITS sudah mendesain sekitar 12 mobil hemat dan 6 mobil formula. “Sekarang ini generasi ke-9. Baru pada September nanti akan ada ganti kepengurusan, yang nantinya ada generasi baru lagi dalam teknologi Sapuangin,” ucapnya.
Tim pengembangan mobil “siluman” ini digawangi 23 mahasiswa dan dua dosen pendamping. Mereka terbagi atas dua bidang teknis dan nonteknis yang memiliki fungsi untuk pengembangan secara masif. Dominasi pemikiran dan pengembangan tetap diserahkan pada para mahasiswa. Iklim pemikiran dua arah pun terjadi.
Para mahasiswa memainkan peran sebagai konseptor dan eksekutor, sementara dua do sen pendamping turut dalam pengembangan mobil hasil karya para mahasiswa. Regenerasi pun dilakukan tiap tahun. Untuk praktiknya, ada proses magang terlebih dahulu yang harus dijalani anggota baru. Biasanya masa keanggotaan di Sapuangin adalah dua tahun.
“Tapi di tiap tahun pasti ada yang baru sebab kepengurusan mahasiswa terdiri dari tahun keempat, tahun ketiga, dan tahun kedua perkuliahan. “Tim kami terdiri dari berbagai jurusan. Dari keseluruhan, 60% berasal dari anak teknik mesin. Sementara sisanya dari multijurusan yang ada di ITS,” ungkapnya.
Sapuangin juga dikenal lebih bijaksana dalam mengatur energi serta tepat mengeluarkan kecepatan. Regulasi kompetisi mobil hemat yang ketat membuat mereka lebih matang dalam mempersiapkan semuanya. Teknologi baru pun kerap digunakan dalam membongkar dapur pacu. Kalau dari mobil hemat, kecepatannya sekitar 0-70 km/jam serta biasanya top speed akan dibatasi.
Driver Tim Sapuangin ITS Moch Hafis Habibi mengatakan, kerja sama yang baik antara anggota tim, usaha, dan doa telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Mobil hemat energi harus bisa seimbang untuk memacu mesin dan memakai bahan bakar.
“Kami menjadi juara sebagai mobil tercepat dan terhemat, dan dapat mengalahkan tim Sask Eco UC dari Kanada dan tim INSA de Toulouse dari Prancis yang menempati posisi kedua dan ketiga,” ujarnya.
(don)