75 Persen Konsumen Tolak Kenaikan Tarif Ojol
A
A
A
JAKARTA - Sebuah penelitian dari Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) yang berjudul persepsi konsumen terhadap kenaikan tarif ojek online, mengungkap bahwa pemberlakuan kenaikan tarif berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No. 348 Tahun 2019 ditolak oleh para konsumen.
Ketua peneliti Rised Rumayya Batubara, mengatakan 75 persen penumpang skala nasional menolak tarif baru yang ditetapkan.
"75 persen tarif ojol ditolak oleh konsumen. Kenaikan tarif ojol yang signifikan paling besar ditolak oleh masyarakat Jabodetabek," ujarnya di Jakarta, Senin (6/5/2019).
Berdasarkan hasil riset yang melibatkan 3.000 pengguna ojek online, 67 persen masyarakat menolak dalam zona I (Jawa (non-jabodetabek), Bali, Sumatera), 82 persen masyarakat menolak dalam zona II (Jabodetabek), dan 66 persen masyarakat menolak di zona III (wilayah sisanya).
Menurut Rumayya, penolakan ini terjadi karena 72,2 persen pengguna ojek online berpendapatan menengah ke bawah, terutama yang berdomisili di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.
" Kenapa ada penolakan? melihat data 75,2 persen pengguna ojol rata-rata menengah ke bawah, jadi 25 persen uangnya hanya habis untuk transportasi yang mengalami kenaikan. Padahal konsumen sensitif dengan kenaikan harga," imbuhnya.
Apalagi rata-rata kesediaan konsumen untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan hanya sebesar Rp 5.200 per hari untuk warga Jabodetabek dan Rp 4.900 per hari untuk non-Jabodetabek. Di sisi lain, pasca kenaikan tarif bisa mencapai Rp 6.000-Rp 15.000 per hari.
Rumayya menyebut, sejak awal 52, 4 persen alasan utama konsumen memilih ojol karena keterjangkauan tarifnya, disusul 32,4 persen bisa pesan kapan saja, 4,3 persen layanan door-to-door, dan 10, 9 persen alasan lainnya.
Ketua peneliti Rised Rumayya Batubara, mengatakan 75 persen penumpang skala nasional menolak tarif baru yang ditetapkan.
"75 persen tarif ojol ditolak oleh konsumen. Kenaikan tarif ojol yang signifikan paling besar ditolak oleh masyarakat Jabodetabek," ujarnya di Jakarta, Senin (6/5/2019).
Berdasarkan hasil riset yang melibatkan 3.000 pengguna ojek online, 67 persen masyarakat menolak dalam zona I (Jawa (non-jabodetabek), Bali, Sumatera), 82 persen masyarakat menolak dalam zona II (Jabodetabek), dan 66 persen masyarakat menolak di zona III (wilayah sisanya).
Menurut Rumayya, penolakan ini terjadi karena 72,2 persen pengguna ojek online berpendapatan menengah ke bawah, terutama yang berdomisili di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.
" Kenapa ada penolakan? melihat data 75,2 persen pengguna ojol rata-rata menengah ke bawah, jadi 25 persen uangnya hanya habis untuk transportasi yang mengalami kenaikan. Padahal konsumen sensitif dengan kenaikan harga," imbuhnya.
Apalagi rata-rata kesediaan konsumen untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan hanya sebesar Rp 5.200 per hari untuk warga Jabodetabek dan Rp 4.900 per hari untuk non-Jabodetabek. Di sisi lain, pasca kenaikan tarif bisa mencapai Rp 6.000-Rp 15.000 per hari.
Rumayya menyebut, sejak awal 52, 4 persen alasan utama konsumen memilih ojol karena keterjangkauan tarifnya, disusul 32,4 persen bisa pesan kapan saja, 4,3 persen layanan door-to-door, dan 10, 9 persen alasan lainnya.
(wbs)