Kualitas Solar Indonesia Paling Buruk di ASEAN
A
A
A
JAKARTA - Kualitas solar yang dimiliki Indonesia terendah di ASEAN. Hal tersebut dikemukakan oleh Asisten Deputi Bidang Pencemaran Udara Sumber Bergerak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Novrizal Tahar.
"Kandungan sulfur solar biasa mencapai 3.500ppm, sedangkan solar Pertamina DEX yang paling baik hanya berkisar 200ppm. Itupun masih jauh jika kita bandingkan dengan negara tetangga lainnya. Kandungan sulfur solar Singapura hanya 10ppm, China 50ppm, Thailand 50ppm dan Korea 10ppm," ujarnya saat konferensi pers dan media briefing Eco Driving Workshop and Rally, Rabu (28/5/2014).
Menurut data KLH, rata-rata persentase kelulusan uji emisi kendaraan berbahan bakar solar nasional pada 2013 hanya 52%. Artinya masih separuh dari angka tersebut yang tidak lulus uji mutu. Meski demikian, angka tersebut naik 3 persen dari rata-rata tahun 2011 sebesar 49%, dan naik 10 persen dari rata-rata tahun 2012 sebesar 42 persen.
Sesuai ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan MRA ASEAN (Mutual Recognition Agreement) perjanjian untuk menggunakan bahan bakar rendah sulfur sudah diberlakukan sejak 2012. Ketika itu sejumlah negara sepakat untuk meningkatkan kadar emisi karbon sesuai standar Euro dan menjadi seluruh ASEAN pada 2016.
"Pengguna Premium di Indonesia pada 2013 sebesar 97%. Hanya 2-3% saja yang menggunakan bahan bakar rendah sulfur. Padahal bensin bersubsidi menyumbang emsisi paling besar," tandasnya.
"Kandungan sulfur solar biasa mencapai 3.500ppm, sedangkan solar Pertamina DEX yang paling baik hanya berkisar 200ppm. Itupun masih jauh jika kita bandingkan dengan negara tetangga lainnya. Kandungan sulfur solar Singapura hanya 10ppm, China 50ppm, Thailand 50ppm dan Korea 10ppm," ujarnya saat konferensi pers dan media briefing Eco Driving Workshop and Rally, Rabu (28/5/2014).
Menurut data KLH, rata-rata persentase kelulusan uji emisi kendaraan berbahan bakar solar nasional pada 2013 hanya 52%. Artinya masih separuh dari angka tersebut yang tidak lulus uji mutu. Meski demikian, angka tersebut naik 3 persen dari rata-rata tahun 2011 sebesar 49%, dan naik 10 persen dari rata-rata tahun 2012 sebesar 42 persen.
Sesuai ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan MRA ASEAN (Mutual Recognition Agreement) perjanjian untuk menggunakan bahan bakar rendah sulfur sudah diberlakukan sejak 2012. Ketika itu sejumlah negara sepakat untuk meningkatkan kadar emisi karbon sesuai standar Euro dan menjadi seluruh ASEAN pada 2016.
"Pengguna Premium di Indonesia pada 2013 sebesar 97%. Hanya 2-3% saja yang menggunakan bahan bakar rendah sulfur. Padahal bensin bersubsidi menyumbang emsisi paling besar," tandasnya.
(dol)