Indonesia Berpeluang Besar Jadi Pemain Global di Industri Kendaraan Listrik
loading...
A
A
A
Problemnya di Indonesia, lanjut Pranoto adalah bagaimana kita bisa mengembangkan manufaktur nasional sehingga bisa mendorong industri yang menghasilkan produk yang atraktif bagi konsumen dan harga yang kompetitif dengan produk asing. Selain itu, dukungan insentif dari pemerintah juga penting, soal pemotongan pajak kendaraan, atau insentif non materiil seperti pengecualian nomor ganjil-genap bagi EV. “Dengan harga yang kompetitif dan dukungan kemudahan lainnya, menjadikan minat masyarakat untuk membelinya akan lebih baik,” kata Pranoto.
Direktur Hyundai Tri Wahono menyambung, masyarakat butuh diedukasi lebih dalam soal EV agar tidak ada resistensi. Bagaimana dampak penggunaan EV terhadap lingkungan dan ekonomi nasional. Hal ini mengingat negara-negara di Asia Tenggara belum ada yang bergerak.
“Kita jadi punya kesempatan untuk menjadi pionir, menjadi pemain utama yang memiliki supply chain yang kuat dari hulu ke hilir,” tegas Tri.
Penggunaan EV menurut Toto sangat banyak manfaatnya bagi lingkungan hidup dan juga ekonomi. Dia menjelaskan manfaat untuk lingkungan misalnya hanya dengan konversi 30% saja dari BBM ke EV kita bisa mengurangi impor BBM secara signifikan hampir Rp 2-3 miliar setahun.
“Kita harus segera beralih ke EV danmenggunakan baterai EV yang kita produksi sendiri. Baterai produksi nasional dapat bertahan 8 tahun bisa didaur ulang 80% ,” jelas Toto.
Meski begitu, isu lingkungan belum cukup untuk menjadi poin utama konsumen untuk beralih ke EV. Menurut pembalap Fitra Eri, value yang ada saat ini belum bisa menggoda orang Indonesia untuk membeli. Pasalnya, konsumen umumnya tidak terlalu pusing soal isu lingkungan, bagi mereka nilai ekonomisnya juga menjadi yang utama.
“Mobil listrik harganya masih diatas Rp1 miliar. Mahal. Konsumen beli mobil listrik bukan karena sadar lingkungan, tapi penasaran, layak enggak sih pindah ke mobil listrik. Ujung-ujungnya perhitungan ekonomi,” kata Fitra.
Jika dibandingkan dengan Norwegia dimana 9 dari 10 kendaraan yang beredar disana adalah EV, kita masih sangat jauh. Pemerintah negara itu membuat harga mobil EV tidak berbeda jauh dengan mobil bermesin pembakaran dalam. Bahkan kendaraan yang bukan EV akan dikenakan pajak yang lebih mahal. Jadi di Indonesia, mobil listrik harus ekonomis, dan diperkuat regulasi pemerintah dengan banyak insentif serta infrastruktur juga penting agar bisa dipakai keluar kota.
“Bagi saya yang sudah memakai EV yang jelas mengendarainya sangat menyenangkan. Harapannya agar industri bisa lebih cepat bertumbuh dari yang kita perkirakan,” kata Fitra.
Ketua Policy Center ILUNI UI M. Jibriel Avessina menambahkan, isu ini penting untuk terus dikawal. Salah satunya karena Indonesia sebagai penghasil bahan baku terbesar untuk baterai. Kedua, masa depan diharapkan ada terobosan untuk bergeser dari energi fosil ke energi non fosil di Indonesia.
Direktur Hyundai Tri Wahono menyambung, masyarakat butuh diedukasi lebih dalam soal EV agar tidak ada resistensi. Bagaimana dampak penggunaan EV terhadap lingkungan dan ekonomi nasional. Hal ini mengingat negara-negara di Asia Tenggara belum ada yang bergerak.
“Kita jadi punya kesempatan untuk menjadi pionir, menjadi pemain utama yang memiliki supply chain yang kuat dari hulu ke hilir,” tegas Tri.
Penggunaan EV menurut Toto sangat banyak manfaatnya bagi lingkungan hidup dan juga ekonomi. Dia menjelaskan manfaat untuk lingkungan misalnya hanya dengan konversi 30% saja dari BBM ke EV kita bisa mengurangi impor BBM secara signifikan hampir Rp 2-3 miliar setahun.
“Kita harus segera beralih ke EV danmenggunakan baterai EV yang kita produksi sendiri. Baterai produksi nasional dapat bertahan 8 tahun bisa didaur ulang 80% ,” jelas Toto.
Meski begitu, isu lingkungan belum cukup untuk menjadi poin utama konsumen untuk beralih ke EV. Menurut pembalap Fitra Eri, value yang ada saat ini belum bisa menggoda orang Indonesia untuk membeli. Pasalnya, konsumen umumnya tidak terlalu pusing soal isu lingkungan, bagi mereka nilai ekonomisnya juga menjadi yang utama.
“Mobil listrik harganya masih diatas Rp1 miliar. Mahal. Konsumen beli mobil listrik bukan karena sadar lingkungan, tapi penasaran, layak enggak sih pindah ke mobil listrik. Ujung-ujungnya perhitungan ekonomi,” kata Fitra.
Jika dibandingkan dengan Norwegia dimana 9 dari 10 kendaraan yang beredar disana adalah EV, kita masih sangat jauh. Pemerintah negara itu membuat harga mobil EV tidak berbeda jauh dengan mobil bermesin pembakaran dalam. Bahkan kendaraan yang bukan EV akan dikenakan pajak yang lebih mahal. Jadi di Indonesia, mobil listrik harus ekonomis, dan diperkuat regulasi pemerintah dengan banyak insentif serta infrastruktur juga penting agar bisa dipakai keluar kota.
“Bagi saya yang sudah memakai EV yang jelas mengendarainya sangat menyenangkan. Harapannya agar industri bisa lebih cepat bertumbuh dari yang kita perkirakan,” kata Fitra.
Ketua Policy Center ILUNI UI M. Jibriel Avessina menambahkan, isu ini penting untuk terus dikawal. Salah satunya karena Indonesia sebagai penghasil bahan baku terbesar untuk baterai. Kedua, masa depan diharapkan ada terobosan untuk bergeser dari energi fosil ke energi non fosil di Indonesia.