Bus Listrik Solusi Ramah Lingkungan
A
A
A
JAKARTA - Keberadaan bus listrik untuk angkutan massal akan semakin dekat dengan kenyataan. Ini terlihat dari semakin banyaknya produsen bus listrik yang terus melakukan penetrasi pasar kendati penjualannya belum signifikan.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak bermunculan produsen bus listrik di sejumlah negara. Ini sejalan dengan kebijakan otoritas masing-masing negara yang ingin membuat lingkungan lebih sehat tanpa polusi.
Bus listrik menjadi solusi karena selain tidak mengeluarkan emisi gas buang, jenis angkutan ini dapat mengangkut banyak penumpang sehingga lebih efisien. Perawatannya pun disebut-sebut tidak telalu rumit.
Di China, angka penjualan bus listrik diramalkan akan melampaui angka 345.000 pada 2025. Jumlah tersebut memang masih jauh di bawah angka penjualan mobil konvensional di China yang pada tahun lalu tercatat di atas 20 juta unit. Negeri Panda juga termasuk negara yang paling banyak memiliki manufaktur bus listrik. Sebut saja misalnya BYD, Zhengzhou Yutong Group Co Ltd, Zhongtong Bus & Holding Co Ltd, hingga Yangzhou Yaxing Motor Coach Co. Ltd.
Di Amerika, produsen bus Proterra juga gencar melakukan pengembangan produk untuk menghasilkan teknologi terkini terutama pada bagian baterai. Proterra juga rajin memasok bus listrik untuk penggunaan di bandara udara di sejumlah kota di Amerika Serikat (AS).
Dikutip dari situs Daimler, jumlah bus listrik di Amerika Serikat (AS) juga bertambah secara dramatis dalam satu dekade terakhir. Saat ini lebih dari 47.000 bus listrik berlalu-lalang di jalan raya. Pemerintah AS menargetkan dapat menggunakan 1 juta bus listrik pada 2025. Transisi ini menunjukkan keinginan AS untuk mengurangi emisi buruk.
Tidak ketinggalan, produsen Eropa seperti Daimler juga turut memanfaatkan momentum keberadaan bus listrik dengan memproduksi bus listrik komersialnya pada akhir tahun ini.
“Bus listrik bukan lagi niche market tetapi akan menjadi pemain utama,” ujar Head of Development Daimler Buses Gustav Tuschen dalam situs resminya.
Jika tidak ada aral melintang, Daimler akan memproduksi bus listrik yang dinamakan Mercedes-Benz Citaro E-CELL. Kendaraan yang rancang untuk angkutan umum ini dikliam akan lebih efisien dengan teknologi baterai terbaru serta ramah lingkungan.
Pada mulanya, ada kekhawatiran yang menyebutkan kelemahan kendaraan listrik adalah pada saat mengisi baterai yang memakan waktu lama. Namun, persoalan ini tampaknya bakal segera teratasi. Toshiba, produsen elektronik asal Jepang, saat ini sedang menguji charger baterai mobil yang memungkinkan dapat dilakukan hanya dalam waktu singkat yakni 15 menit saja.
Lalu, bagaimana potensi pengembangan bus listrik di Indonesia? Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Johny Dharmawan mengatakan, penggunaan transportasi massal berbasis listrik ke depan akan menjadi pilihan. Dia menilai, saat ini industri di seluruh dunia sangat terkesan dengan kemajuan teknologi mobil listrik. Sehingga, tidak ada alasan teknologi ini bakal ditolak, bahkan di Indonesia sekalipun.
"Persoalannya ada tahapan-tahapan yang harus dilewati, di satu sisi perlu regulasi. Di sisi lain pengembangan teknologinya juga masih terus berlanjut dari sisi baterai. Sebab selama ini kebanyakan kita beli dalam bentuk impor atau CBU (Completely Build Up)," ungkapnya.
Dia menambahkan, persoalan penggunaan transportasi berbasis listrik di Indonesia hanya menunggu waktu. "Kira-kira masih butuh lima sampai sepuluh tahun ke depan. Sebab ya itu tadi, teknologinya masih terus dikembangkan," sebutnya.
Bus Listrik Lokal
Tidak lama lagi, Indonesia juga bakal memiliki bus listrik pertama yang produksi oleh PT Mobil Anak Bangsa (MAB). Perusahaan yang didirikan mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Moeldoko ini siap diujicobakan untuk digunakan pada operasional Bandara Internasional Siekarno-Hatta melalui PT Angkasa Pura II (persero).
Saat ini, MAB masih menunggu sertifikasi dari pemerintah agar bisa dioperasikan sebagai angkutan umum massal berbasis listrik.
"Masih kita tunggu, setelah itu baru kita ujicoba. Kami sangat senang jika proses ujicoba bisa berjalan cepat sehingga bisa dioperasikan dengan segera," ujar Moeldoko di JCC, Jakarta, kemarin.
Dia berharap, proses perizinan tidak akan menemui kendala kendati regulasi yang ada saat ini baru mengatur kendaraan bermotor konvensional. “Saya pikir pemerintah pasti tanggap. Sebab, kita bahkan tidak perlu hybrid lagi namun bisa langsung menggunakan teknologi listrik 100%," ujar Moeldoko.
Moeldoko menjelaskan bahwa pihaknya sudah mengundang berbagai stakeholder terkait, diantaranya dari Kementerian Perindustrian, PLN maupun Kementerian ESDM mengenai keberadaan bus listrik MAB di Indonesia. "Kemarin, Menteri Perindustrian sudah melihat, dan pada dasarnya mereka senang, jadi tinggal kita tunggu pembuat kebijakan supaya bisa lebih siap," ujarnya.
Dia menambahkan bahwa untuk produk bus MAB akan tergantung pesanan dengan harga di kisaran Rp3 miliar. Harga tersebut, menurutnya lebih murah dibanding dengan harga asalnya dari China.
Saat ini sejumlah Perusahaan Otobus (PO) telah menyatakan ketertarikannya pada produk bus MAB ini. Diantaranya Trans Jakarta, Maya Sari, Pahala Kencana serta sejumlah bandara di Indonesia seperti Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali.
Direktur Utama PT Angkasa Pura (AP) II Muhammad Awaluddin mengatakan, bus listrik cocok digunakan di area bandara. Hal ini mengingat ada sebanyak 170.000 pergerakan penumpang di Bandara Soekarno-Hatta setiap harinya.
“Moda transportasi zero emisi seperti bus listrik sangat dibutuhkan, sehingga ke depanbisa membuat reputasi Bandara Soekarno-Hatta sejajar dengan bandara-bandara internasional lain di dunia," ujarnya Awaluddin seusai menyaksikan penandatanganan Perjanjian Kerjasama atau Memorandum of Understanding Ujicoba Pengoperasian bus listrik MAB antara PT Angkasa Pura II dan PT MAB.
Dia menambahkan, transportasi sisi udara di Bandara Soekarno Hatta akan dimanfaatkan untuk mengantar penumpang dari gate-gate yang ada menuju ke pesawat, tanpa menggunakan garbarata. Sedangkan sisi daratnya akan kita manfaatkan tahap awal untuk shuttle bus, melayani perpindahan penumpang antar terminal," ujar Awaluddin.
Presiden Direktur PT MAB Mayjen (Purn) Leonard mengatakan, pertimbangan memilih bus sebagai basis produk transportasi listrik didasari karena penggunaannya belum banyak. Adapun, dengan jumlah pasar yang besar juga memungkinkan produk bus MAB diminati banyak pihak.
"Gini kalau kita masuk ke bisnis mobil pribadi itu saingannya dengan pemain dari luar. Makanya, kami mulai dulu dari transportasi massal dulu, pasarnya juga besar. Misalnya di segmen pemerintah bisa dimanfaatkan untuk angkutan antar jemput karyawan. Adapun untuk segmen airport sebagai shuttle dari satu terminal ke terminal lain serta masih ada perusahaan transportasi umum juga yang tertarik," ungkapnya.
Dia menambahkan bahwa pihaknya optimis Bus MAB bisa diterima banyak pihak sebab potensi pemanfaatan kandungan lokal bisa sangat besar atau mencapai 45%.
"Kalau sudah produksi massal, kita bisa misalnya produksi ban, dan bagian-bagian lain yang bahan dasar atau kandungannya bisa diperoleh di dalam negeri, saya kira banyak yang jelas bisa 45%," sebutnya.
Dihubungi terpisah, pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, penggunaan bus listrik sudah lazim dimanfaatkan di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika. Sedangkan, pemanfaatan bus listrik di bandara semisal di Soekarno-Hatta, menurutnya perlu mendapatkan sertifikasi laik jalan dari Kementerian Perhubungan. "Sebenarnya tidak ada masalah. Selama ada sertifikasi laik jalannya, maka sebaiknya diterapkan penggunaannya. Bandara-bandara besar sudah banyak menggunakan bus listrik ini, karena memang sangat efektif terutama menghapus emisi," ucap dia. (Muh Shamil/Ichsan Amin)
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak bermunculan produsen bus listrik di sejumlah negara. Ini sejalan dengan kebijakan otoritas masing-masing negara yang ingin membuat lingkungan lebih sehat tanpa polusi.
Bus listrik menjadi solusi karena selain tidak mengeluarkan emisi gas buang, jenis angkutan ini dapat mengangkut banyak penumpang sehingga lebih efisien. Perawatannya pun disebut-sebut tidak telalu rumit.
Di China, angka penjualan bus listrik diramalkan akan melampaui angka 345.000 pada 2025. Jumlah tersebut memang masih jauh di bawah angka penjualan mobil konvensional di China yang pada tahun lalu tercatat di atas 20 juta unit. Negeri Panda juga termasuk negara yang paling banyak memiliki manufaktur bus listrik. Sebut saja misalnya BYD, Zhengzhou Yutong Group Co Ltd, Zhongtong Bus & Holding Co Ltd, hingga Yangzhou Yaxing Motor Coach Co. Ltd.
Di Amerika, produsen bus Proterra juga gencar melakukan pengembangan produk untuk menghasilkan teknologi terkini terutama pada bagian baterai. Proterra juga rajin memasok bus listrik untuk penggunaan di bandara udara di sejumlah kota di Amerika Serikat (AS).
Dikutip dari situs Daimler, jumlah bus listrik di Amerika Serikat (AS) juga bertambah secara dramatis dalam satu dekade terakhir. Saat ini lebih dari 47.000 bus listrik berlalu-lalang di jalan raya. Pemerintah AS menargetkan dapat menggunakan 1 juta bus listrik pada 2025. Transisi ini menunjukkan keinginan AS untuk mengurangi emisi buruk.
Tidak ketinggalan, produsen Eropa seperti Daimler juga turut memanfaatkan momentum keberadaan bus listrik dengan memproduksi bus listrik komersialnya pada akhir tahun ini.
“Bus listrik bukan lagi niche market tetapi akan menjadi pemain utama,” ujar Head of Development Daimler Buses Gustav Tuschen dalam situs resminya.
Jika tidak ada aral melintang, Daimler akan memproduksi bus listrik yang dinamakan Mercedes-Benz Citaro E-CELL. Kendaraan yang rancang untuk angkutan umum ini dikliam akan lebih efisien dengan teknologi baterai terbaru serta ramah lingkungan.
Pada mulanya, ada kekhawatiran yang menyebutkan kelemahan kendaraan listrik adalah pada saat mengisi baterai yang memakan waktu lama. Namun, persoalan ini tampaknya bakal segera teratasi. Toshiba, produsen elektronik asal Jepang, saat ini sedang menguji charger baterai mobil yang memungkinkan dapat dilakukan hanya dalam waktu singkat yakni 15 menit saja.
Lalu, bagaimana potensi pengembangan bus listrik di Indonesia? Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Johny Dharmawan mengatakan, penggunaan transportasi massal berbasis listrik ke depan akan menjadi pilihan. Dia menilai, saat ini industri di seluruh dunia sangat terkesan dengan kemajuan teknologi mobil listrik. Sehingga, tidak ada alasan teknologi ini bakal ditolak, bahkan di Indonesia sekalipun.
"Persoalannya ada tahapan-tahapan yang harus dilewati, di satu sisi perlu regulasi. Di sisi lain pengembangan teknologinya juga masih terus berlanjut dari sisi baterai. Sebab selama ini kebanyakan kita beli dalam bentuk impor atau CBU (Completely Build Up)," ungkapnya.
Dia menambahkan, persoalan penggunaan transportasi berbasis listrik di Indonesia hanya menunggu waktu. "Kira-kira masih butuh lima sampai sepuluh tahun ke depan. Sebab ya itu tadi, teknologinya masih terus dikembangkan," sebutnya.
Bus Listrik Lokal
Tidak lama lagi, Indonesia juga bakal memiliki bus listrik pertama yang produksi oleh PT Mobil Anak Bangsa (MAB). Perusahaan yang didirikan mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Moeldoko ini siap diujicobakan untuk digunakan pada operasional Bandara Internasional Siekarno-Hatta melalui PT Angkasa Pura II (persero).
Saat ini, MAB masih menunggu sertifikasi dari pemerintah agar bisa dioperasikan sebagai angkutan umum massal berbasis listrik.
"Masih kita tunggu, setelah itu baru kita ujicoba. Kami sangat senang jika proses ujicoba bisa berjalan cepat sehingga bisa dioperasikan dengan segera," ujar Moeldoko di JCC, Jakarta, kemarin.
Dia berharap, proses perizinan tidak akan menemui kendala kendati regulasi yang ada saat ini baru mengatur kendaraan bermotor konvensional. “Saya pikir pemerintah pasti tanggap. Sebab, kita bahkan tidak perlu hybrid lagi namun bisa langsung menggunakan teknologi listrik 100%," ujar Moeldoko.
Moeldoko menjelaskan bahwa pihaknya sudah mengundang berbagai stakeholder terkait, diantaranya dari Kementerian Perindustrian, PLN maupun Kementerian ESDM mengenai keberadaan bus listrik MAB di Indonesia. "Kemarin, Menteri Perindustrian sudah melihat, dan pada dasarnya mereka senang, jadi tinggal kita tunggu pembuat kebijakan supaya bisa lebih siap," ujarnya.
Dia menambahkan bahwa untuk produk bus MAB akan tergantung pesanan dengan harga di kisaran Rp3 miliar. Harga tersebut, menurutnya lebih murah dibanding dengan harga asalnya dari China.
Saat ini sejumlah Perusahaan Otobus (PO) telah menyatakan ketertarikannya pada produk bus MAB ini. Diantaranya Trans Jakarta, Maya Sari, Pahala Kencana serta sejumlah bandara di Indonesia seperti Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali.
Direktur Utama PT Angkasa Pura (AP) II Muhammad Awaluddin mengatakan, bus listrik cocok digunakan di area bandara. Hal ini mengingat ada sebanyak 170.000 pergerakan penumpang di Bandara Soekarno-Hatta setiap harinya.
“Moda transportasi zero emisi seperti bus listrik sangat dibutuhkan, sehingga ke depanbisa membuat reputasi Bandara Soekarno-Hatta sejajar dengan bandara-bandara internasional lain di dunia," ujarnya Awaluddin seusai menyaksikan penandatanganan Perjanjian Kerjasama atau Memorandum of Understanding Ujicoba Pengoperasian bus listrik MAB antara PT Angkasa Pura II dan PT MAB.
Dia menambahkan, transportasi sisi udara di Bandara Soekarno Hatta akan dimanfaatkan untuk mengantar penumpang dari gate-gate yang ada menuju ke pesawat, tanpa menggunakan garbarata. Sedangkan sisi daratnya akan kita manfaatkan tahap awal untuk shuttle bus, melayani perpindahan penumpang antar terminal," ujar Awaluddin.
Presiden Direktur PT MAB Mayjen (Purn) Leonard mengatakan, pertimbangan memilih bus sebagai basis produk transportasi listrik didasari karena penggunaannya belum banyak. Adapun, dengan jumlah pasar yang besar juga memungkinkan produk bus MAB diminati banyak pihak.
"Gini kalau kita masuk ke bisnis mobil pribadi itu saingannya dengan pemain dari luar. Makanya, kami mulai dulu dari transportasi massal dulu, pasarnya juga besar. Misalnya di segmen pemerintah bisa dimanfaatkan untuk angkutan antar jemput karyawan. Adapun untuk segmen airport sebagai shuttle dari satu terminal ke terminal lain serta masih ada perusahaan transportasi umum juga yang tertarik," ungkapnya.
Dia menambahkan bahwa pihaknya optimis Bus MAB bisa diterima banyak pihak sebab potensi pemanfaatan kandungan lokal bisa sangat besar atau mencapai 45%.
"Kalau sudah produksi massal, kita bisa misalnya produksi ban, dan bagian-bagian lain yang bahan dasar atau kandungannya bisa diperoleh di dalam negeri, saya kira banyak yang jelas bisa 45%," sebutnya.
Dihubungi terpisah, pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, penggunaan bus listrik sudah lazim dimanfaatkan di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika. Sedangkan, pemanfaatan bus listrik di bandara semisal di Soekarno-Hatta, menurutnya perlu mendapatkan sertifikasi laik jalan dari Kementerian Perhubungan. "Sebenarnya tidak ada masalah. Selama ada sertifikasi laik jalannya, maka sebaiknya diterapkan penggunaannya. Bandara-bandara besar sudah banyak menggunakan bus listrik ini, karena memang sangat efektif terutama menghapus emisi," ucap dia. (Muh Shamil/Ichsan Amin)
(nfl)