Riset Sebut Pelonggaran PSBB dan New Normal Ramai Dibicarakan di Twitter
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan persiapan new normal yang dilemparkan pemerintah, menimbulkan polemik di dunia maya. Banyak masyarakat yang menyuarakan aspirasinya di sosial media.
Melihat dinamika ini, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bekerja sama dengan analis sosial media, Drone Emprit, melakukan penelitian terkait respon masyarakat terhadap kedua kebijakan tersebut. BACA JUGA: Terlalu Bahaya Hancurkan Asteroid di Orbit Bumi, HERA Siapkan Opsi Lain
Penelitian yang dilakukan dengan mengamati pemberitaan di media massa daring dan percakapan masyarakat di sosmed ini, dilakukan menjadi dua periode. Periode I pada 15 Mei - 1 Juni 2020, kemudian periode II pada 1 Juni - 7 Juni 2020. BACA JUGA: Misteri Dagon hingga Bulan Terbentuk dari Tabrakan antar Kosmis
M. Ridwan dari LP3ES memaparkan, pada periode pertama, terdapat 69.835 percakapan terkait pelonggaran PSBB dan new normal. Sebanyak 13% percakapan ada di media massa dan 87% percakapan di sosmed. Dari seluruh percakapan, 56.028 di antaranya berasal dari Twitter.
Sebaran lokasi percakapan didominasi di Jakarta, kemudian diikuti Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Banten, dan kota-kota lainnya di Indonesia. “Kalau dari sebaran berdasarkan media, 80% di Twitter, 13% media massa online, 4% Instagram, dan 3% Facebook,” kata Ridwan, saat diskusi secara virtual dengan media, Selasa (9/6/2020).
Lebih lanjut, Ridwan menuturkan, ketika pemerintah melemparkan isu pelenggaran PSBB dan persiapan new normal, dari total percakapan di periode pertama, terekam sebanyak 49% di antaranya menunjukkan sentimen negatif, 37% sentimen positif, dan 14% netral.
“Di periode kedua Total percakapan 22.305, 85% di sosmed dan 15% di media massa. Hasilnya tidak jauh berbeda dengan periode pertama,” imbuhnya.
Kampanye new normal dan pelonggaran PSBB yang digaungkan pemerintah dianggap tidak tepat. Sebab, kasus positif harian virus corona masih sangat tinggi. Tercatat, pada 6 Juni kasus baru positif corona mencapai angka 993 jiwa.
Penelitian ini juga menunjukkan, percakapan terkait pelonggaran PSBB dan new normal di sosial media sebenarnya tidak terlalu banyak. Angkanya menjadi meningkat setelah pada 26 Mei muncul pemberitaan Presiden Joko Widodo mengunjungi salah satu mall di Bekasi, yang disebut sebagai persiapan menuju new normal.
Ismail Fahmi, Founder Drone Emprit, menuturkan, Indonesia menjadi negara yang paling cerewet membahas new normal di seluruh dunia, diikuti Amerika Serikat dan Inggris.
“Kunjungan Jokowi ke sebuah mall di Bekasi merupakan awal melonjaknya percakapan tentang new normal di Indonesia, karena diikuti dengan kampanye new normal dan perdebatannya yang cukup masif,” tutur Fahmi, pada kesempatan yang sama.
Menurut Fahmi, tingginya percakapan itu didorong oleh tiga aktivitas. Pertama, kampanye new normal yang dilakukan oleh tim media sosial pemerintah. Kedua, kampanye new normal yang dilakukan oleh jaringan humas Polri. Ketiga, respon publik dan oposisi yang tidak yakin Indonesia siap dengan new normal.
Selain itu, ketidakpercayaan warganet terhadap kesiapan Indonesia menerapkan new normal didasari beberapa aspek. Di antaranya kasus baru positif corona masih sangat tinggi, rasio tes corona masih kecil, dan masyarakat yang masih tidak disiplin, serta kedisiplinan yang selama ini tidak ditegakkan dengan tegas.
“Seharusnya seperti negara lain yang menerapkan new normal setelah kurva melandai, bukan seperti Indonesia yang kurvanya masih naik. Potensi gelombang kedua corona juga masih ada,” tambah Fahmi.
Melihat dinamika ini, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bekerja sama dengan analis sosial media, Drone Emprit, melakukan penelitian terkait respon masyarakat terhadap kedua kebijakan tersebut. BACA JUGA: Terlalu Bahaya Hancurkan Asteroid di Orbit Bumi, HERA Siapkan Opsi Lain
Penelitian yang dilakukan dengan mengamati pemberitaan di media massa daring dan percakapan masyarakat di sosmed ini, dilakukan menjadi dua periode. Periode I pada 15 Mei - 1 Juni 2020, kemudian periode II pada 1 Juni - 7 Juni 2020. BACA JUGA: Misteri Dagon hingga Bulan Terbentuk dari Tabrakan antar Kosmis
M. Ridwan dari LP3ES memaparkan, pada periode pertama, terdapat 69.835 percakapan terkait pelonggaran PSBB dan new normal. Sebanyak 13% percakapan ada di media massa dan 87% percakapan di sosmed. Dari seluruh percakapan, 56.028 di antaranya berasal dari Twitter.
Sebaran lokasi percakapan didominasi di Jakarta, kemudian diikuti Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Banten, dan kota-kota lainnya di Indonesia. “Kalau dari sebaran berdasarkan media, 80% di Twitter, 13% media massa online, 4% Instagram, dan 3% Facebook,” kata Ridwan, saat diskusi secara virtual dengan media, Selasa (9/6/2020).
Lebih lanjut, Ridwan menuturkan, ketika pemerintah melemparkan isu pelenggaran PSBB dan persiapan new normal, dari total percakapan di periode pertama, terekam sebanyak 49% di antaranya menunjukkan sentimen negatif, 37% sentimen positif, dan 14% netral.
“Di periode kedua Total percakapan 22.305, 85% di sosmed dan 15% di media massa. Hasilnya tidak jauh berbeda dengan periode pertama,” imbuhnya.
Kampanye new normal dan pelonggaran PSBB yang digaungkan pemerintah dianggap tidak tepat. Sebab, kasus positif harian virus corona masih sangat tinggi. Tercatat, pada 6 Juni kasus baru positif corona mencapai angka 993 jiwa.
Penelitian ini juga menunjukkan, percakapan terkait pelonggaran PSBB dan new normal di sosial media sebenarnya tidak terlalu banyak. Angkanya menjadi meningkat setelah pada 26 Mei muncul pemberitaan Presiden Joko Widodo mengunjungi salah satu mall di Bekasi, yang disebut sebagai persiapan menuju new normal.
Ismail Fahmi, Founder Drone Emprit, menuturkan, Indonesia menjadi negara yang paling cerewet membahas new normal di seluruh dunia, diikuti Amerika Serikat dan Inggris.
“Kunjungan Jokowi ke sebuah mall di Bekasi merupakan awal melonjaknya percakapan tentang new normal di Indonesia, karena diikuti dengan kampanye new normal dan perdebatannya yang cukup masif,” tutur Fahmi, pada kesempatan yang sama.
Menurut Fahmi, tingginya percakapan itu didorong oleh tiga aktivitas. Pertama, kampanye new normal yang dilakukan oleh tim media sosial pemerintah. Kedua, kampanye new normal yang dilakukan oleh jaringan humas Polri. Ketiga, respon publik dan oposisi yang tidak yakin Indonesia siap dengan new normal.
Selain itu, ketidakpercayaan warganet terhadap kesiapan Indonesia menerapkan new normal didasari beberapa aspek. Di antaranya kasus baru positif corona masih sangat tinggi, rasio tes corona masih kecil, dan masyarakat yang masih tidak disiplin, serta kedisiplinan yang selama ini tidak ditegakkan dengan tegas.
“Seharusnya seperti negara lain yang menerapkan new normal setelah kurva melandai, bukan seperti Indonesia yang kurvanya masih naik. Potensi gelombang kedua corona juga masih ada,” tambah Fahmi.
(wbs)