Harley-Davidson, Nestapa sang Legenda Amerika
A
A
A
HARLEY-DAVIDSON semakin terpuruk di tengah penjualan yang terus menurun. Baru-baru ini, nestapa mereka semakin bertambah ketika CEO Harley-Davidson Matt Levatich memutuskan mundur karena tidak sanggup membuat nama legenda Amerika itu harum kembali.
Tanggal 4 Februari 2015 menjadi momen istimewa bagi Matt Levatich. Pria yang sudah malang-melintang di Harley-Davidson sejak 1994 itu akhirnya mencapai posisi tertinggi di Harley-Davidson karena ditunjuk sebagai President & CEO Harley-Davidson.
Matt Levatich memang bak pejabat karier di Harley-Davidson. Dia memulai kariernya dari bawah sebagai direktur marketing, kemudian perlahan-lahan menanjak hingga akhirnya menjadi orang nomor satu di Harley-Davidson. Berbekal perjalanan panjang itulah, MattLevatich begitu optimistis dapat mengharumkan kembali nama Harley-Davidson yang memang mengalami penurunan penjualan.
“Saat melihat ke depan, kami percaya akan ada banyak kesempatan buat kami untuk membangun kekuatan lagi. Harley-Davidson adalah salah satu merek dunia yang sangat kuat dan ikonik. Kami akan menyiapkan strategi guna membuat sebuah produk yang tidak akan tersaingi. Kami akan mampu membangkitkan potensi penuh sebagai perusahaan global yang prestisius,” ujar Matt Levatich saat ditunjuk sebagai President & CEO Harley-Davidson.
Lima tahun berselang, optimisme Matt Levatich justru tinggal kenangan. Tiba-tiba saja dilaporkan bahwa Matt Levatich meletakkan jabatannya sebagai orang paling kuat di Harley-Davidson. Dia memutuskan mundur setelah perusahaan yang dipimpinnya gagal mencatatkan pertumbuhan penjualan dalam lima tahun terakhir.
Bukan itu saja, sepanjang 2019 penjualan Harley tercatat sebagai yang terendah dalam 16 tahun ke belakang. Harga saham mereka pun turun 42% dalam waktu 12 bulan. Salah satu penyebab terus turunnya penjualan Harley ditengarai karena kebijakan perang dagang yang ditetapkan Presiden Donald Trump. Di samping itu, Harley juga terus kehilangan penggemar.
Bloomberg menyebut, para penggemar Harley kini sudah bertambah tua. Mereka tidak lagi membeli produk Harley karena usia yang tidak lagi memungkinkan. Di sisi lain, pabrikan motor gede (moge) yang sudah berdiri sejak 1903 itu gagal mendapatkan konsumen baru dari generasi muda. Motor Harley yang besar, berat, mahal, dan punya tipikal dipakai touring tidakcocok dengan generasi milenial dan Z.
“Harley tidak punya daya saing dengan motor yang lebih bisa dijangkau dan lebih ringan. Sementara motor berat seperti yang dipakai Marlo Brando dalam film The Wild One sudah tidak tren lagi,” ucap David MacGregor, analis Long Bow Research.
Harley-Davidson mencoba beradaptasi dengan merilis motor yang lebih ramping dan bisa digunakan untuk beragam keperluan. Beberapa model baru sudah dikeluarkan demi menarik pembeli baru. Namun, sejauh ini upaya tersebut tidak memberi efek yang diinginkan.
“Mereka sudah mengalaminya. Mereka sudah kehilangan. Mereka berhasil mendapatkannya, tapi kemudian kehilangan lagi. Saat orang-orang bertambah tua, mereka (Harley) tidak punya pengganti sebagai pembeli. Milenial lebih memilih menaiki skuter listrik dibanding Harley Davidson,” ucap Ken Harris dari Cadent Consulting Group, sebuah konsultan pemasaran dan penjualan di Chicago. (Wahyu Sibarani)
Tanggal 4 Februari 2015 menjadi momen istimewa bagi Matt Levatich. Pria yang sudah malang-melintang di Harley-Davidson sejak 1994 itu akhirnya mencapai posisi tertinggi di Harley-Davidson karena ditunjuk sebagai President & CEO Harley-Davidson.
Matt Levatich memang bak pejabat karier di Harley-Davidson. Dia memulai kariernya dari bawah sebagai direktur marketing, kemudian perlahan-lahan menanjak hingga akhirnya menjadi orang nomor satu di Harley-Davidson. Berbekal perjalanan panjang itulah, MattLevatich begitu optimistis dapat mengharumkan kembali nama Harley-Davidson yang memang mengalami penurunan penjualan.
“Saat melihat ke depan, kami percaya akan ada banyak kesempatan buat kami untuk membangun kekuatan lagi. Harley-Davidson adalah salah satu merek dunia yang sangat kuat dan ikonik. Kami akan menyiapkan strategi guna membuat sebuah produk yang tidak akan tersaingi. Kami akan mampu membangkitkan potensi penuh sebagai perusahaan global yang prestisius,” ujar Matt Levatich saat ditunjuk sebagai President & CEO Harley-Davidson.
Lima tahun berselang, optimisme Matt Levatich justru tinggal kenangan. Tiba-tiba saja dilaporkan bahwa Matt Levatich meletakkan jabatannya sebagai orang paling kuat di Harley-Davidson. Dia memutuskan mundur setelah perusahaan yang dipimpinnya gagal mencatatkan pertumbuhan penjualan dalam lima tahun terakhir.
Bukan itu saja, sepanjang 2019 penjualan Harley tercatat sebagai yang terendah dalam 16 tahun ke belakang. Harga saham mereka pun turun 42% dalam waktu 12 bulan. Salah satu penyebab terus turunnya penjualan Harley ditengarai karena kebijakan perang dagang yang ditetapkan Presiden Donald Trump. Di samping itu, Harley juga terus kehilangan penggemar.
Bloomberg menyebut, para penggemar Harley kini sudah bertambah tua. Mereka tidak lagi membeli produk Harley karena usia yang tidak lagi memungkinkan. Di sisi lain, pabrikan motor gede (moge) yang sudah berdiri sejak 1903 itu gagal mendapatkan konsumen baru dari generasi muda. Motor Harley yang besar, berat, mahal, dan punya tipikal dipakai touring tidakcocok dengan generasi milenial dan Z.
“Harley tidak punya daya saing dengan motor yang lebih bisa dijangkau dan lebih ringan. Sementara motor berat seperti yang dipakai Marlo Brando dalam film The Wild One sudah tidak tren lagi,” ucap David MacGregor, analis Long Bow Research.
Harley-Davidson mencoba beradaptasi dengan merilis motor yang lebih ramping dan bisa digunakan untuk beragam keperluan. Beberapa model baru sudah dikeluarkan demi menarik pembeli baru. Namun, sejauh ini upaya tersebut tidak memberi efek yang diinginkan.
“Mereka sudah mengalaminya. Mereka sudah kehilangan. Mereka berhasil mendapatkannya, tapi kemudian kehilangan lagi. Saat orang-orang bertambah tua, mereka (Harley) tidak punya pengganti sebagai pembeli. Milenial lebih memilih menaiki skuter listrik dibanding Harley Davidson,” ucap Ken Harris dari Cadent Consulting Group, sebuah konsultan pemasaran dan penjualan di Chicago. (Wahyu Sibarani)
(ysw)