Sejuta Cerita Kereta Api Argo Parahyangan yang Akan Berhenti Beroperasi
loading...
A
A
A
Dari kondisi itulah akhirnya PT Kereta Api Indonesia, yang waktu itu Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), meluncurkan lagi kereta baru yakni Argo Gede. Kereta api itu dikhususkan bagi penumpang yang ingin lebih nyaman berkat adanya gerbong eksekutif.
Petaka bagi kereta api Parahyangan baru benar-benar datang ketika Tol Cipularang mulai dioperasikan pada 2005. Perjalanan Bandung-Jakarta mukai bisa ditempuh dalam kisaran tiga jam. Ketika lengang, waktu tempuhnya bahkan bisa kurang dari itu.
Belum kemudahan-kemudahan lain yang diberikan oleh infrastruktur jalan tol. Seperti kawasan istirahat yang membuat nyaman serta banyaknya akses pintu keluar tol yang memungkinkan orang lebih cepat mencapai tujuan. Bandingkan dengan layanan kereta api yang mengharuskan orang turun di stasiun-stasiun besar.
Cobaan makin berat karena maraknya usaha jasa travel yang melayani jalur Bandung-Jakarta via Tol Cipularang. Dengan tarif terjangkau, layanan ini menyodorkan banyak kemudahan. Mulai dari jam keberangkatan hingga titik tujuan.
Dalam setahun, tingkat okupansi kereta api Parahyangan melorot hingga tinggal 25 persen saja. Segala upaya dikerjakan PT KAI untuk mendongkrak jumlah penumpang. Harga karcis diturunkan hingga titik terendah Rp25.000.
Okupansi kembali naik hingga maksimal 70 persen. Sayangnya, angka ini belum mampu menutup kerugian yang didera perusahaan. Okupansi minimal untuk mencapai titik impas adalah 80 persen.
PT KAI kemudian mencoba melebur dua kereta yang sama-sama menuju Bandung, Parahyangan dan Argo Gede. Keduanya melebur jadi satu nama Argo Parahyangan .
Jika sebelumnya layanan kelas ekonomi-bisnis dan kelas eksekutif dipisah, kali ini keduanya digabung dalam satu kereta. Di Argo Parahyangan, penumpang bisa memilih gerbong kelas apa yang akan dipakai. Tarifnya menyesuaikan.
Menariknya peleburan itu justru berbarengan dengan semakin padatnya tol Cikampek dan Cipularang. Waktu tempuh Jakarta-Bandung melalui jalan tol justru jadi tidak mudah lagi.
Petaka bagi kereta api Parahyangan baru benar-benar datang ketika Tol Cipularang mulai dioperasikan pada 2005. Perjalanan Bandung-Jakarta mukai bisa ditempuh dalam kisaran tiga jam. Ketika lengang, waktu tempuhnya bahkan bisa kurang dari itu.
Belum kemudahan-kemudahan lain yang diberikan oleh infrastruktur jalan tol. Seperti kawasan istirahat yang membuat nyaman serta banyaknya akses pintu keluar tol yang memungkinkan orang lebih cepat mencapai tujuan. Bandingkan dengan layanan kereta api yang mengharuskan orang turun di stasiun-stasiun besar.
Cobaan makin berat karena maraknya usaha jasa travel yang melayani jalur Bandung-Jakarta via Tol Cipularang. Dengan tarif terjangkau, layanan ini menyodorkan banyak kemudahan. Mulai dari jam keberangkatan hingga titik tujuan.
Dalam setahun, tingkat okupansi kereta api Parahyangan melorot hingga tinggal 25 persen saja. Segala upaya dikerjakan PT KAI untuk mendongkrak jumlah penumpang. Harga karcis diturunkan hingga titik terendah Rp25.000.
Okupansi kembali naik hingga maksimal 70 persen. Sayangnya, angka ini belum mampu menutup kerugian yang didera perusahaan. Okupansi minimal untuk mencapai titik impas adalah 80 persen.
PT KAI kemudian mencoba melebur dua kereta yang sama-sama menuju Bandung, Parahyangan dan Argo Gede. Keduanya melebur jadi satu nama Argo Parahyangan .
Jika sebelumnya layanan kelas ekonomi-bisnis dan kelas eksekutif dipisah, kali ini keduanya digabung dalam satu kereta. Di Argo Parahyangan, penumpang bisa memilih gerbong kelas apa yang akan dipakai. Tarifnya menyesuaikan.
Menariknya peleburan itu justru berbarengan dengan semakin padatnya tol Cikampek dan Cipularang. Waktu tempuh Jakarta-Bandung melalui jalan tol justru jadi tidak mudah lagi.