Penjualan Mobil Listrik Meningkat, Unsur TKDN Diminta untuk Ditingkatkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia telah bergerak progresif dalam merangsang adopsi kendaraan listrik (EV) melalui berbagai insentif pajak, dengan harapan untuk meningkatkan daya saing negara dalam pasar global EV.
BACA JUGA - Hyundai Minta Pemerintah Bedakan Subsidi Mobil Listrik CKD dan CBU
Kebijakan insentif yang agresif ini mencakup pembebasan dan potongan pajak yang signifikan, mulai dari libur pajak hingga 20 tahun hingga pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk produk-produk tertentu di industri EV.
Perubahan terbaru dalam regulasi, terutama Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2023, menekankan pada insentif untuk produsen BEV yang berkomitmen membangun pabrik di Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan pembuatan lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor. Insentif ini diharapkan akan membawa dampak positif bagi pembangunan ekosistem kendaraan listrik yang berkelanjutan di Indonesia, termasuk dalam peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Namun, kebijakan ini juga membawa tantangan tersendiri. Pengenalan insentif untuk kendaraan listrik Completely Built Up (CBU) dapat memperluas pilihan model EV bagi konsumen Indonesia.
Namun, ini berisiko mengurangi penjualan EV lokal dan menunda perkembangan industri hulu seperti pertambangan dan pemurnian yang penting bagi ekosistem kendaraan listrik. Thailand, yang memiliki sumber daya mineral dan manusia untuk membangun fondasi EV yang kuat, menjadi contoh yang baik untuk diikuti, dimana negara tersebut berhasil membangun ekosistem EV yang lebih terintegrasi.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan bahwa pemerintah perlu mewaspadai agar penciptaan pasar kendaraan listrik dalam negeri nantinya tidak hanya dikuasai oleh produk impor perusahaan asing.
"Dalam penciptaan pasar kendaraan listrik pemerintah harus mewaspadai jangan sampai pasar dalam negeri dikuasai oleh produk impor perusahaan asing, seperti yang terjadi pada industri otomotif konvensional," kata Fahmy dikutip dari Antara.
Selain itu, adanya ketidakseimbangan antara jumlah kendaraan dan infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian daya dapat menghambat pengalaman mobilitas kendaraan listrik bagi konsumen. Fahmi menambahkan bahwa Infrastruktur stasiun pengisian listrik merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembentukan ekosistem industri kendaraan listrik.
Kehadiran EV CBU yang lebih banyak juga bisa mempengaruhi kualitas layanan purnajual dan ketersediaan suku cadang resmi. Pengalaman konsumen tidak hanya ditentukan dari kualitas produk, tetapi juga dari kelengkapan layanan after sales yang dinikmati.
Dalam jangka panjang, Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan insentif tidak hanya menarik investor dan konsumen tetapi juga mendukung pertumbuhan industri EV domestik secara berkelanjutan. Kebijakan harus dirancang untuk mendorong investasi di sektor hulu, seperti pertambangan dan produksi baterai, yang akan memberikan nilai tambah lebih besar bagi ekonomi Indonesia.
Indonesia memiliki kekayaan alam yang dapat dijadikan keunggulan kompetitif dalam industri baterai EV. Namun, regulasi terbaru belum menyediakan insentif spesifik untuk produksi baterai lokal. Dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat yang memberikan insentif untuk EV dengan baterai lokal, Indonesia harus merumuskan kebijakan serupa untuk memanfaatkan potensi ini secara maksimal.
Dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan EV, kolaborasi antara pemerintah, industri, dan konsumen menjadi kunci. Kebijakan harus mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan jangka pendek untuk menarik investasi dan pertumbuhan pasar EV dengan visi jangka panjang untuk pengembangan industri EV yang berkelanjutan di Indonesia.
BACA JUGA - Hyundai Minta Pemerintah Bedakan Subsidi Mobil Listrik CKD dan CBU
Kebijakan insentif yang agresif ini mencakup pembebasan dan potongan pajak yang signifikan, mulai dari libur pajak hingga 20 tahun hingga pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk produk-produk tertentu di industri EV.
Perubahan terbaru dalam regulasi, terutama Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2023, menekankan pada insentif untuk produsen BEV yang berkomitmen membangun pabrik di Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan pembuatan lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor. Insentif ini diharapkan akan membawa dampak positif bagi pembangunan ekosistem kendaraan listrik yang berkelanjutan di Indonesia, termasuk dalam peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Namun, kebijakan ini juga membawa tantangan tersendiri. Pengenalan insentif untuk kendaraan listrik Completely Built Up (CBU) dapat memperluas pilihan model EV bagi konsumen Indonesia.
Namun, ini berisiko mengurangi penjualan EV lokal dan menunda perkembangan industri hulu seperti pertambangan dan pemurnian yang penting bagi ekosistem kendaraan listrik. Thailand, yang memiliki sumber daya mineral dan manusia untuk membangun fondasi EV yang kuat, menjadi contoh yang baik untuk diikuti, dimana negara tersebut berhasil membangun ekosistem EV yang lebih terintegrasi.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan bahwa pemerintah perlu mewaspadai agar penciptaan pasar kendaraan listrik dalam negeri nantinya tidak hanya dikuasai oleh produk impor perusahaan asing.
"Dalam penciptaan pasar kendaraan listrik pemerintah harus mewaspadai jangan sampai pasar dalam negeri dikuasai oleh produk impor perusahaan asing, seperti yang terjadi pada industri otomotif konvensional," kata Fahmy dikutip dari Antara.
Selain itu, adanya ketidakseimbangan antara jumlah kendaraan dan infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian daya dapat menghambat pengalaman mobilitas kendaraan listrik bagi konsumen. Fahmi menambahkan bahwa Infrastruktur stasiun pengisian listrik merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembentukan ekosistem industri kendaraan listrik.
Kehadiran EV CBU yang lebih banyak juga bisa mempengaruhi kualitas layanan purnajual dan ketersediaan suku cadang resmi. Pengalaman konsumen tidak hanya ditentukan dari kualitas produk, tetapi juga dari kelengkapan layanan after sales yang dinikmati.
Dalam jangka panjang, Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan insentif tidak hanya menarik investor dan konsumen tetapi juga mendukung pertumbuhan industri EV domestik secara berkelanjutan. Kebijakan harus dirancang untuk mendorong investasi di sektor hulu, seperti pertambangan dan produksi baterai, yang akan memberikan nilai tambah lebih besar bagi ekonomi Indonesia.
Indonesia memiliki kekayaan alam yang dapat dijadikan keunggulan kompetitif dalam industri baterai EV. Namun, regulasi terbaru belum menyediakan insentif spesifik untuk produksi baterai lokal. Dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat yang memberikan insentif untuk EV dengan baterai lokal, Indonesia harus merumuskan kebijakan serupa untuk memanfaatkan potensi ini secara maksimal.
Dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan EV, kolaborasi antara pemerintah, industri, dan konsumen menjadi kunci. Kebijakan harus mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan jangka pendek untuk menarik investasi dan pertumbuhan pasar EV dengan visi jangka panjang untuk pengembangan industri EV yang berkelanjutan di Indonesia.
(wbs)