Mobil Listrik di Ibu Kota Baru akan Gunakan Baterai Buatan Indonesia
Selasa, 25 Mei 2021 - 13:00 WIB
JAKARTA - Mining Industry Indonesia (MIND.ID) menargetkan mobil-mobil listrik yang akan digunakan di Ibu Kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara akan menggunakan baterai mobil listrik buatan Indonesia. Hal itu diungkap oleh Komisaris Utama MIND ID sekaligus Ketua Tim Percepatan Proyek Baterai Kendaraan Listrik atau Electric Vehicle (EV) Battery Agus Tjahajana Wirakusumah dalam diskusi daring Industri Baterai Nasional sebagai Energi Alternatif yang digelar Persatuan Insinyur Indonesia (PII) baru-baru ini.
Agus Tjahajana mengatakan dalam peta jalan produksi baterai di Indonesia, diharapkan pembangunan pabrik dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HAPL) akan selesai pada 2024. Setelah itu Indonesia akan berupaya menyelesaikan pabrik prekursor dan katoda. Pada 2025 menurut Agus Tjahajana pembangunan akan dilanjutkan dengan produksi cell to pack.
"Selanjutnya kita berharap dan menargetkan di Ibu Kota baru EV (Electric Vehicle) yang ada di sana menggunakan baterai dari kita. Selain itu kita berharap pada 2030 bisa jual baterai 230.000 di kawasan ASEAN," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama Agus Thajajana juga mengatakan Indonesia akan memiliki potensi yang sangat besar dalam produksi baterai. Menurutnya Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, sekitar 30 persen produksi di dunia hingga saat ini.
Dari nikel itu diharapkan Indonesia mampu membuat baterai lithium ion dengan basis nikel. Ke depannya menurut dia nikel akan tetap digunakan karena perubahan baterai dari liquid ke solid state. "Ini kita melihat, inilah mengapa kita memilih industri berbasis nikel jadi alasan kuat," jelasnya.
Fakta lain juga sangat mendukung dimana produsen baterai dunia kini mulai menghadapi tantangan berat. Kebanyakan saat ini produsen baterai seperti LG Chem, CATL dan sebagainya menggunakan nikel sulfida sebagai bahan pembuatan baterai. Masalahnya cadangan nikel sulfida semakin sedikit dan susah didapat.
"Saat baterai kebutuhannya besar, dan sourcingnya makin mengecil jadi mau enggak mau harus datang ke negara-negara yang cadangannya terbesar. Tapi perlud diingat meski kita besar, masih ada negara lain seperti New Caledonia, Filipina dan Australia meski tidak banyak," tegasnya.
Agus Tjahajana mengatakan dalam peta jalan produksi baterai di Indonesia, diharapkan pembangunan pabrik dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HAPL) akan selesai pada 2024. Setelah itu Indonesia akan berupaya menyelesaikan pabrik prekursor dan katoda. Pada 2025 menurut Agus Tjahajana pembangunan akan dilanjutkan dengan produksi cell to pack.
"Selanjutnya kita berharap dan menargetkan di Ibu Kota baru EV (Electric Vehicle) yang ada di sana menggunakan baterai dari kita. Selain itu kita berharap pada 2030 bisa jual baterai 230.000 di kawasan ASEAN," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama Agus Thajajana juga mengatakan Indonesia akan memiliki potensi yang sangat besar dalam produksi baterai. Menurutnya Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, sekitar 30 persen produksi di dunia hingga saat ini.
Dari nikel itu diharapkan Indonesia mampu membuat baterai lithium ion dengan basis nikel. Ke depannya menurut dia nikel akan tetap digunakan karena perubahan baterai dari liquid ke solid state. "Ini kita melihat, inilah mengapa kita memilih industri berbasis nikel jadi alasan kuat," jelasnya.
Fakta lain juga sangat mendukung dimana produsen baterai dunia kini mulai menghadapi tantangan berat. Kebanyakan saat ini produsen baterai seperti LG Chem, CATL dan sebagainya menggunakan nikel sulfida sebagai bahan pembuatan baterai. Masalahnya cadangan nikel sulfida semakin sedikit dan susah didapat.
"Saat baterai kebutuhannya besar, dan sourcingnya makin mengecil jadi mau enggak mau harus datang ke negara-negara yang cadangannya terbesar. Tapi perlud diingat meski kita besar, masih ada negara lain seperti New Caledonia, Filipina dan Australia meski tidak banyak," tegasnya.
(wsb)
tulis komentar anda