Bakal Ditambah, Lampu Lalu Lintas Cerdas Berbasis ITS Tetap Perlu Dievaluasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jumlah lalu lintas cerdas berbasis Sistem Transpotasi Cerdas atau Intelligent transport system (ITS) akan terus bertambah di wilayah Jakarta. Hanya saja sebelum ditambah perlu evaluasi mendalam agar teknologi itu efektif.
Tidak hanya buat kondisi persimpangan jalan tapi juga masyarakat yang terdampak langsung. Keinginan itu diutarakan oleh sejumlah pakar transportasi terkait penambahan jumlah lampu lalu lintas dengan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) di wilayah Ibu Kota itu.
Diketahui saat ini Jakarta berencana menambah 40 simpang yang akan di pasang lampu lalu lintas cerdas. Sebelumnya sudah ada 20 titik lokasi yang sudah menggunakan sistem ini antara lain Jalan Jembatan 2 Raya-Jalan Tubagus Angke, Jalan Kyai Tapa-Jalan Daan Mogot (Grogol), dan Jalan S Parman-Jalan Tomang Raya.
Lampu lalu lintas cerdas itu bekerja dengan melakukan pengaturan waktu di lampu lalu lintas berdasarkan informasi basis data internal Google. Selain itu lampu lalu lintas cerdas dilengkapi dengan sistem manajemen lalu lintas.
Jadinya, sistem ini mampu menghitung secara aktual volume lalu lintas di setiap persimpangan. Teknologi itu dapat mengetahui perbandingan antara kepadatan jalan dengan kepadatan lalu lintas di jalan tersebut. Hanya saja pelaksanaan sistem tersebut terbilang kompleks.
Dari situ para pakar transportasi dan anggota DPRD DKI Jakartta berharap adanya evalusia terlebih dulu sebelum jumlah lampu lalu lintas cerdas ditambah. Hal ini agar masyarakat memperoleh pengetahuan yang lebih jelas mengenai pelaksanaan dan dampak dari penerapan sistem ini, apakah dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam hal ini bisa mengurangi kemacetan dan layak diterapkan di semua simpang di DKI Jakarta.
Jangan sampai penerapan sistem tersebut tidak teruji dengan kondisi lalu lintas riil yang ada di DKI Jakarta dan akhirnya menimbulkan masalah baru. Apalagi anggaran yang digunakan untuk penerapan teknologi ini di 20 simpang sebesar Rp78 miliar dan rencana penambahan untuk 40 simpang sebesar Rp130 miliar.
Dr Ilham Malik, Section Head of Monitoring and Evaluation Intelligent Transportation System Association of Indonesia (ITS Indonesia), menyatakan bahwa tingkat derajat kejenuhan di simpang-simpang tersebut masih tinggi terutama di jam-jam puncak lalu lintas.
“Sangat perlu dievaluasi sampai sejauh mana pemanfaatan sistem tersebut di 20 simpang yang ada sebelum ditambahkan lagi hingga 40 simpang. Karena setiap implementasi teknologi baru harus teruji secara komprehensif sebelum diputuskan efektif atau tidak implementasi tersebut,” ujar Dr Ilham Malik.
Keinginan yang sama juga dirasakan oleh Ketua Forum Transportasi Perkotaan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Dr Budi Yulianto. Dia mengatakan bahwa data kepadatan lalu lintas yang digunakan kemungkinan berasal dari data historis pengguna Google dan bukan data aktual di persimpangan sehingga proses entry data dilakukan secara manual dan tidak secara otomatis.
Agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi, perlu dilakukan evaluasi secara terbuka dan dipublikasikan ke masyarakat. Apalagi data yang digunakan dari Google bukanlah data dari penyedia sistem ATCS (Area Traffic Control System).
Pengamat Transportasi Jabodetabek, Tedy Murtejo, menambahkan, “Penggunaan data dari internal Google perlu ditelaah karena bisa berhubungan dengan data pribadi pengguna platform Google yang mengarah pada aturan soal perlindungan data pribadi. Perlu adanya consent dari pengguna bahwa data akan digunakan dalam hal ini oleh pemerintah. Apalagi ini digunakan untuk mengatur lampu lalu lintas, sangat rentan terjadinya kebocoran data atau data breach yang menjadi masalah keamanan nasional.”
Pengaturan persimpangan seharusnya independen dan tidak tergantung dari sistem pihak ketiga. Pasalnya sistem APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas) berteknologi AI idealnya mampu menangkap kondisi riil persimpangan dan melakukan penyesuaian pengaturan lampu lalu lintas di persimpangan secara otomatis.
Tidak hanya buat kondisi persimpangan jalan tapi juga masyarakat yang terdampak langsung. Keinginan itu diutarakan oleh sejumlah pakar transportasi terkait penambahan jumlah lampu lalu lintas dengan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) di wilayah Ibu Kota itu.
Diketahui saat ini Jakarta berencana menambah 40 simpang yang akan di pasang lampu lalu lintas cerdas. Sebelumnya sudah ada 20 titik lokasi yang sudah menggunakan sistem ini antara lain Jalan Jembatan 2 Raya-Jalan Tubagus Angke, Jalan Kyai Tapa-Jalan Daan Mogot (Grogol), dan Jalan S Parman-Jalan Tomang Raya.
Lampu lalu lintas cerdas itu bekerja dengan melakukan pengaturan waktu di lampu lalu lintas berdasarkan informasi basis data internal Google. Selain itu lampu lalu lintas cerdas dilengkapi dengan sistem manajemen lalu lintas.
Jadinya, sistem ini mampu menghitung secara aktual volume lalu lintas di setiap persimpangan. Teknologi itu dapat mengetahui perbandingan antara kepadatan jalan dengan kepadatan lalu lintas di jalan tersebut. Hanya saja pelaksanaan sistem tersebut terbilang kompleks.
Dari situ para pakar transportasi dan anggota DPRD DKI Jakartta berharap adanya evalusia terlebih dulu sebelum jumlah lampu lalu lintas cerdas ditambah. Hal ini agar masyarakat memperoleh pengetahuan yang lebih jelas mengenai pelaksanaan dan dampak dari penerapan sistem ini, apakah dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam hal ini bisa mengurangi kemacetan dan layak diterapkan di semua simpang di DKI Jakarta.
Jangan sampai penerapan sistem tersebut tidak teruji dengan kondisi lalu lintas riil yang ada di DKI Jakarta dan akhirnya menimbulkan masalah baru. Apalagi anggaran yang digunakan untuk penerapan teknologi ini di 20 simpang sebesar Rp78 miliar dan rencana penambahan untuk 40 simpang sebesar Rp130 miliar.
Dr Ilham Malik, Section Head of Monitoring and Evaluation Intelligent Transportation System Association of Indonesia (ITS Indonesia), menyatakan bahwa tingkat derajat kejenuhan di simpang-simpang tersebut masih tinggi terutama di jam-jam puncak lalu lintas.
“Sangat perlu dievaluasi sampai sejauh mana pemanfaatan sistem tersebut di 20 simpang yang ada sebelum ditambahkan lagi hingga 40 simpang. Karena setiap implementasi teknologi baru harus teruji secara komprehensif sebelum diputuskan efektif atau tidak implementasi tersebut,” ujar Dr Ilham Malik.
Keinginan yang sama juga dirasakan oleh Ketua Forum Transportasi Perkotaan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Dr Budi Yulianto. Dia mengatakan bahwa data kepadatan lalu lintas yang digunakan kemungkinan berasal dari data historis pengguna Google dan bukan data aktual di persimpangan sehingga proses entry data dilakukan secara manual dan tidak secara otomatis.
Agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi, perlu dilakukan evaluasi secara terbuka dan dipublikasikan ke masyarakat. Apalagi data yang digunakan dari Google bukanlah data dari penyedia sistem ATCS (Area Traffic Control System).
Pengamat Transportasi Jabodetabek, Tedy Murtejo, menambahkan, “Penggunaan data dari internal Google perlu ditelaah karena bisa berhubungan dengan data pribadi pengguna platform Google yang mengarah pada aturan soal perlindungan data pribadi. Perlu adanya consent dari pengguna bahwa data akan digunakan dalam hal ini oleh pemerintah. Apalagi ini digunakan untuk mengatur lampu lalu lintas, sangat rentan terjadinya kebocoran data atau data breach yang menjadi masalah keamanan nasional.”
Pengaturan persimpangan seharusnya independen dan tidak tergantung dari sistem pihak ketiga. Pasalnya sistem APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas) berteknologi AI idealnya mampu menangkap kondisi riil persimpangan dan melakukan penyesuaian pengaturan lampu lalu lintas di persimpangan secara otomatis.
(wsb)