Bye-bye BBM, Welcome Bioetanol! Solusi Ramah Lingkungan dari Negeri Sendiri
loading...
A
A
A
KARAWANG - Indonesia tengah gencar mengejar target pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Salah satu solusi yang menjanjikan adalah bioetanol, bahan bakar ramah lingkungan yang bisa dihasilkan dari berbagai tanaman seperti tebu, sorgum, jagung, dan singkong.
Pemerintah Indonesia tengah gencar mendorong transisi dari kendaraan konvensional berbahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan listrik berbasis baterai.
Upaya ini didorong oleh Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Selain ramah lingkungan, kendaraan listrik diproyeksikan akan mengurangi penggunaan BBM hingga 12,8 juta barel per tahun.
Namun, di tengah gempuran teknologi kendaraan listrik, bioetanol muncul sebagai alternatif menarik yang patut diperhitungkan. Bioetanol, bahan bakar nabati yang dihasilkan dari tanaman seperti tebu, sorgum, jagung, dan singkong, menawarkan sejumlah keunggulan yang tidak bisa diabaikan.
Bioetanol: Solusi Berkelanjutan untuk Kendaraan ICE
Bioetanol bukan sekadar bahan bakar alternatif. Tapi, memiliki potensi besar untuk menciptakan siklus positif yang menguntungkan.
“Demi menjaga stabilitas kebutuhan bahan bakar dan mengurangi emisi, kita perlu beralih ke EBT dengan siklus lebih cepat, salah satunya bioetanol," ujar Ahli Proses Konversi Biomassa Institut Teknologi Bandung (ITB), Ronny Purwadi, di Karawang, Kamis (6/8/2024).
1. Ramah Lingkungan: Bioetanol menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah dibandingkan BBM, berkontribusi pada upaya Indonesia mengurangi dampak perubahan iklim.
2. Meningkatkan Kemandirian Energi: Dengan memanfaatkan sumber daya alam lokal, bioetanol dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor BBM.
3. Mendukung Kesejahteraan Petani: Pengembangan industri bioetanol akan menciptakan lapangan kerja baru di sektor pertanian, meningkatkan pendapatan petani, dan mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan.
4. Kinerja Mesin yang Optimal: Mesin kendaraan berbahan bakar internal (ICE) dapat dimodifikasi untuk menggunakan bioetanol tanpa mengurangi performa. Bahkan, bioetanol dapat meningkatkan efisiensi mesin dan mengurangi emisi gas buang.
Pada GIIAS 2024, Toyota Indonesia dan Pertamina sudah menunjukkan komitmen mereka terhadap pengembangan bioetanol dengan melakukan uji coba bahan bakar bioetanol dari sorgum pada Fortuner Flexy Fuel Vehicle (FFV) dan Kijang Innova Hybrid FFV.
Selain itu, penggunaan bioetanol juga sejalan dengan visi Indonesia untuk mencapai swasembada energi dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Meski demikian, Ronny Purwadi menyebut bahwa pengembangan bioetanol di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain:
1. Ketersediaan Bahan Baku: Memastikan pasokan bahan baku yang cukup dan berkelanjutan untuk produksi bioetanol merupakan tantangan utama.
2. Infrastruktur Produksi dan Distribusi: Pembangunan pabrik bioetanol dan jaringan distribusinya membutuhkan investasi yang signifikan.
3. Adopsi Teknologi: Petani perlu didorong untuk mengadopsi teknologi pertanian modern untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman penghasil bioetanol.
4. Harga: Harga bioetanol perlu bersaing dengan BBM agar dapat diterima olehmasyarakat.
Pemerintah Indonesia tengah gencar mendorong transisi dari kendaraan konvensional berbahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan listrik berbasis baterai.
Upaya ini didorong oleh Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Selain ramah lingkungan, kendaraan listrik diproyeksikan akan mengurangi penggunaan BBM hingga 12,8 juta barel per tahun.
Namun, di tengah gempuran teknologi kendaraan listrik, bioetanol muncul sebagai alternatif menarik yang patut diperhitungkan. Bioetanol, bahan bakar nabati yang dihasilkan dari tanaman seperti tebu, sorgum, jagung, dan singkong, menawarkan sejumlah keunggulan yang tidak bisa diabaikan.
Bioetanol: Solusi Berkelanjutan untuk Kendaraan ICE
Bioetanol bukan sekadar bahan bakar alternatif. Tapi, memiliki potensi besar untuk menciptakan siklus positif yang menguntungkan. “Demi menjaga stabilitas kebutuhan bahan bakar dan mengurangi emisi, kita perlu beralih ke EBT dengan siklus lebih cepat, salah satunya bioetanol," ujar Ahli Proses Konversi Biomassa Institut Teknologi Bandung (ITB), Ronny Purwadi, di Karawang, Kamis (6/8/2024).
Berikut beberapa keuntungan dari bioetanol:
1. Ramah Lingkungan: Bioetanol menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah dibandingkan BBM, berkontribusi pada upaya Indonesia mengurangi dampak perubahan iklim.
2. Meningkatkan Kemandirian Energi: Dengan memanfaatkan sumber daya alam lokal, bioetanol dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor BBM.
3. Mendukung Kesejahteraan Petani: Pengembangan industri bioetanol akan menciptakan lapangan kerja baru di sektor pertanian, meningkatkan pendapatan petani, dan mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan.
4. Kinerja Mesin yang Optimal: Mesin kendaraan berbahan bakar internal (ICE) dapat dimodifikasi untuk menggunakan bioetanol tanpa mengurangi performa. Bahkan, bioetanol dapat meningkatkan efisiensi mesin dan mengurangi emisi gas buang.
Pada GIIAS 2024, Toyota Indonesia dan Pertamina sudah menunjukkan komitmen mereka terhadap pengembangan bioetanol dengan melakukan uji coba bahan bakar bioetanol dari sorgum pada Fortuner Flexy Fuel Vehicle (FFV) dan Kijang Innova Hybrid FFV.
Tantangan dan Peluang Bioetanol
Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri bioetanol. Dengan lahan pertanian yang luas dan beragam tanaman penghasil bioetanol, Indonesia dapat menjadi produsen bioetanol terkemuka di dunia.Selain itu, penggunaan bioetanol juga sejalan dengan visi Indonesia untuk mencapai swasembada energi dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Meski demikian, Ronny Purwadi menyebut bahwa pengembangan bioetanol di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain:
1. Ketersediaan Bahan Baku: Memastikan pasokan bahan baku yang cukup dan berkelanjutan untuk produksi bioetanol merupakan tantangan utama.
2. Infrastruktur Produksi dan Distribusi: Pembangunan pabrik bioetanol dan jaringan distribusinya membutuhkan investasi yang signifikan.
3. Adopsi Teknologi: Petani perlu didorong untuk mengadopsi teknologi pertanian modern untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman penghasil bioetanol.
4. Harga: Harga bioetanol perlu bersaing dengan BBM agar dapat diterima olehmasyarakat.
(dan)