Menakar Kesiapan Indonesia Menyambut Kehadiran Mobil Canggih di Masa Depan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Industri otomotif dunia bergerak cepat ke arah masa depan dengan teknologi tingkat tinggi. Mobil otonom, taksi terbang, hingga mobil terbang bukan lagi sekadar bayangan.
Indonesia justru tidak ketinggalan. Teknologi mobil otonom bahkan sudah dirasakan oleh masyarakat BSD, Tangerang, Banten. Warga BSD khususnya yang berada di QBig BSD City, sudah bisa dapat menikmati bus listrik yang pengoperasiannya berjalan otomatis atau tanpa sopir.
Selain itu, di Indonesia juga sudah beredar mobil Tesla, yang juga memiliki kemampuan otonom. Di mana mobil tersebut dibekali teknologi otonom atau berjalan sendiri tapi tetap dengan pengawasan pengemudi.
Hanya saja sejauh mana teknologi itu diperlukan masyarakat Indonesia saat ini memang masih jadi tanda tanya? Mengenai tentang teknologi otonom, Bebin Djuana, pengamat otomotif mengatakan, teknologi seperti itu terlalu jauh dan terlalu kompleks untuk diterapkan di Indonesia.
Bebin berbicara demikian bukan tanpa alasan. Teknologi otonom sulit berkembang lantaran kesadaran akan disiplin berkendara di Indonesia masih sangat rendah.
"Terlalu jauh (untuk kendaraan otonom), kita harus memahami secara betul bahwa disiplin di jalan pengendara di negara kita itu sangat rendah, terlalu berbahaya," ucapnya.
Bebin menjelaskan, di negara yang tingkat disiplin berkendaranya sudah tinggi pun masih banyak kendala, termasuk kendala infrastuktur. Menurut Bebin, di Indonesia dua kendala tersebut masih ada yakni pengendara yang tidak disiplin dan infrastruktur yang belum mumpuni.
"kendaraan otonom saya pikir tetap tidak bijaksana, kalau berpikir maju iya, tapi kita harus liat apa yang ada di Negara kita," jelas Bebin.
Bebin memprediksi, mungkin di Indonesia baru bisa cocok dengan kendaraan otonom sekitar 20 atau 30 tahun kedepan. Karena, bukan waktu yang sebentar untuk membenahi tingkat disiplin dalam berkendara.
Mengenai mobil-mobil masa depan, Bebin melihat saat ini ada dua aliran yang cukup mencolok. Pertama yakni kendaraan listrik dengan berbagai macam pengembangannya.
Bila dilihat dari sisi global, perkembangan kendaraan listrik saat ini cukup pesat. Tapi, untuk mengembangkan industrinya, ada beberapa faktor harus diperhatikan, yakni infrastruktur dan investasi yang cukup besar.
Kemudian, aliran yang kedua yakni mobil yang memanfaatkan gas hidrogen. Mengenai mobil tersebut, Bebin cenderung tidak begitu setuju, karena banyak yang perlu dibenahi dan terlalu berisiko.
"Saya kok tidak cenderung negara kita memilih yang itu, karena biaya mengelola gas hidrogen itu mahal, cara mendistribusikannya tidak mudah, untuk mengurainya itu mahal sekali, dan ketika kita tidak berhati-hati, itu gas hidrogen juga mudah meledak," ungkap Bebin.
Karena sejumlah faktor tersebut, Bebin mengaku cenderung tidak memilih alternatif bahan bakar Hidrogen untuk di Indonesia. Terlebih Indonesia merupakan negara kepulauan. Bebin menilai faktor tersebut juga berpengaruh pada kesulitan pendistribusian gas hidrogen.
Beralih kembali ke kendaraan listrik, Bebin mengakui bahwa memang kendaraan listrik di Indonesia masih mahal. Hal tersebut dipicu oleh baterai.
"Itu (Baterai) yang belum bisa diatasi, untuk skala dunia pun masih belum bisa diatasi, dan ini teknologinya terus dikembangkan, masih mencari alternatif bahan baterai yang baru, supaya bisa mendapatkan kualitas yang diharapkan," jelas Bebin.
Kualitas yang dimaksud oleh Bebin, dalam artian yakni waktu charging yang semakin singkat, tidak terjadi kenaikan suhu ketika charging, kemampuan menyimpan listrik, dan jarak tempuhnya lebih jauh. Kualitas-kualitas tersebut lah yang tengah dikejar oleh para produsen kendaraan.
Mengenai soal daya tahan baterai, saat ini Bebin melihat sudah ada yang bisa menjamin bahwa usia baterai di atas 8 tahun. Harganya pun tiap tahunnya semakin murah.
"Dibanding 10 tahun yang lalu sudah turun sekitar 80%, jadi harga baterai 10 tahun yang lalu itu tiga kali lipat lebih mahal dari sekarang, makannya sekarang kendaraan-kendaran yang harganya masih cukup tinggi sudah bisa menjangkau diatas 600 km per charging, dulu harga segitu baru 300 k," kata Bebin.
Lantas kapan harga mobil listrik dan baterai di Indonesia bisa lebih terjangkau? Mengenai hal tersebut, Bebin mengatakan, hal itu akan terjadi apabila semakin banyak pabrik yang memproduksi baterai hadir di Indonesia.
"Ketika pabrik baterai sudah beropreasi, sekitar dua tahun lagi, jelas itu akan membantu dari sisi harga. karena ketika sudah berproduksi dan yang bisa memanfaatkan produk dari baterai itu kan cukup luas, dari mulai kendaraan pribadi maupun komersil," tutupnya.
Indonesia justru tidak ketinggalan. Teknologi mobil otonom bahkan sudah dirasakan oleh masyarakat BSD, Tangerang, Banten. Warga BSD khususnya yang berada di QBig BSD City, sudah bisa dapat menikmati bus listrik yang pengoperasiannya berjalan otomatis atau tanpa sopir.
Selain itu, di Indonesia juga sudah beredar mobil Tesla, yang juga memiliki kemampuan otonom. Di mana mobil tersebut dibekali teknologi otonom atau berjalan sendiri tapi tetap dengan pengawasan pengemudi.
Hanya saja sejauh mana teknologi itu diperlukan masyarakat Indonesia saat ini memang masih jadi tanda tanya? Mengenai tentang teknologi otonom, Bebin Djuana, pengamat otomotif mengatakan, teknologi seperti itu terlalu jauh dan terlalu kompleks untuk diterapkan di Indonesia.
Bebin berbicara demikian bukan tanpa alasan. Teknologi otonom sulit berkembang lantaran kesadaran akan disiplin berkendara di Indonesia masih sangat rendah.
"Terlalu jauh (untuk kendaraan otonom), kita harus memahami secara betul bahwa disiplin di jalan pengendara di negara kita itu sangat rendah, terlalu berbahaya," ucapnya.
Bebin menjelaskan, di negara yang tingkat disiplin berkendaranya sudah tinggi pun masih banyak kendala, termasuk kendala infrastuktur. Menurut Bebin, di Indonesia dua kendala tersebut masih ada yakni pengendara yang tidak disiplin dan infrastruktur yang belum mumpuni.
"kendaraan otonom saya pikir tetap tidak bijaksana, kalau berpikir maju iya, tapi kita harus liat apa yang ada di Negara kita," jelas Bebin.
Bebin memprediksi, mungkin di Indonesia baru bisa cocok dengan kendaraan otonom sekitar 20 atau 30 tahun kedepan. Karena, bukan waktu yang sebentar untuk membenahi tingkat disiplin dalam berkendara.
Mengenai mobil-mobil masa depan, Bebin melihat saat ini ada dua aliran yang cukup mencolok. Pertama yakni kendaraan listrik dengan berbagai macam pengembangannya.
Bila dilihat dari sisi global, perkembangan kendaraan listrik saat ini cukup pesat. Tapi, untuk mengembangkan industrinya, ada beberapa faktor harus diperhatikan, yakni infrastruktur dan investasi yang cukup besar.
Kemudian, aliran yang kedua yakni mobil yang memanfaatkan gas hidrogen. Mengenai mobil tersebut, Bebin cenderung tidak begitu setuju, karena banyak yang perlu dibenahi dan terlalu berisiko.
"Saya kok tidak cenderung negara kita memilih yang itu, karena biaya mengelola gas hidrogen itu mahal, cara mendistribusikannya tidak mudah, untuk mengurainya itu mahal sekali, dan ketika kita tidak berhati-hati, itu gas hidrogen juga mudah meledak," ungkap Bebin.
Karena sejumlah faktor tersebut, Bebin mengaku cenderung tidak memilih alternatif bahan bakar Hidrogen untuk di Indonesia. Terlebih Indonesia merupakan negara kepulauan. Bebin menilai faktor tersebut juga berpengaruh pada kesulitan pendistribusian gas hidrogen.
Beralih kembali ke kendaraan listrik, Bebin mengakui bahwa memang kendaraan listrik di Indonesia masih mahal. Hal tersebut dipicu oleh baterai.
"Itu (Baterai) yang belum bisa diatasi, untuk skala dunia pun masih belum bisa diatasi, dan ini teknologinya terus dikembangkan, masih mencari alternatif bahan baterai yang baru, supaya bisa mendapatkan kualitas yang diharapkan," jelas Bebin.
Kualitas yang dimaksud oleh Bebin, dalam artian yakni waktu charging yang semakin singkat, tidak terjadi kenaikan suhu ketika charging, kemampuan menyimpan listrik, dan jarak tempuhnya lebih jauh. Kualitas-kualitas tersebut lah yang tengah dikejar oleh para produsen kendaraan.
Mengenai soal daya tahan baterai, saat ini Bebin melihat sudah ada yang bisa menjamin bahwa usia baterai di atas 8 tahun. Harganya pun tiap tahunnya semakin murah.
"Dibanding 10 tahun yang lalu sudah turun sekitar 80%, jadi harga baterai 10 tahun yang lalu itu tiga kali lipat lebih mahal dari sekarang, makannya sekarang kendaraan-kendaran yang harganya masih cukup tinggi sudah bisa menjangkau diatas 600 km per charging, dulu harga segitu baru 300 k," kata Bebin.
Lantas kapan harga mobil listrik dan baterai di Indonesia bisa lebih terjangkau? Mengenai hal tersebut, Bebin mengatakan, hal itu akan terjadi apabila semakin banyak pabrik yang memproduksi baterai hadir di Indonesia.
"Ketika pabrik baterai sudah beropreasi, sekitar dua tahun lagi, jelas itu akan membantu dari sisi harga. karena ketika sudah berproduksi dan yang bisa memanfaatkan produk dari baterai itu kan cukup luas, dari mulai kendaraan pribadi maupun komersil," tutupnya.
(wsb)