Kepercayaan Publik Anjlok, Bisakah Facebook Bertahan?
loading...
A
A
A
NEW YORK - Facebook tak henti-henti menghadapi prahara. Terakhir, media sosial paling populer di dunia ini tengah menghadapi dugaan sebagai platform sarang ujaran kebencian dan berita palsu. Kepercayaan terhadap Facebook pun kian redup. Bahkan, sejumlah perusahaan raksasa Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk boikot. The Coca-Cola Company, Unilever, hingga Honda Motor Company Ltd menangguhkan pemasangan iklan di platform ini.
Perang terhadap Facebook antara lain dilakukan Koalisi Anti-Defamation League (ADL) dan NAACP yang meluncurkan kampanye #StopHateforProfit pada pekan lalu. Saat itu mereka mendesak perusahaan besar untuk berhenti memasang iklan di Facebook sebagai bentuk perlawanan terhadap tingginya sirkulasi berita palsu dan ujaran kebencian, terutama di AS.
Berselang beberapa hari, sejumlah perusahaan memutuskan untuk turut serta dalam kampanye #StopHateforProfit. Beberapa di antaranya Coca-Cola, Honda, dan Unilever. Disusul Upwork dan Dashlane. Starbucks, pengiklan terbesar ke enam Facebook, juga menghentikan pemasangan iklan di Facebook.
Perusahaan lain yang ikut menghentikan penayangan iklan di Facebook ialah Arc’teryx, Ben & Jerry’s, Beam Suntory, REI, Edie Bauer, Eileen Fisher, Hershey’s, The North Face, Jan Sport, Levi Strauss, Magnolia Pictures, Patagonia, dan Verizon. Sebagian dari mereka juga mencabut pemasangan iklan di Instagram. Akibat pencopotan iklan ini Facebook mendapat sentimen negatif. Harga sahamnya anjlok. Kekayaan CEO Facebook Mark Zuckerberg pun hilang sekitar 100 triliun. Meski kehilangan kekayaan sebesar itu, Mark tetap memiliki jumlah kekayaan USD82,3 miliar atau sekitar Rp1.170 triliun. (Baca: Facebook Hapus Puluhan Iklan Donald trump yang Berisi Ujaran Kebencian)
Facebook tak berdaya dengan keputusan sepihak ini. Pil pahit terpaksa harus mereka telan lagi. Tepat sekitar setahun lalu Facebook dihukum oleh Komisi Perdagangan Federal AS dengan membayar uang denda Rp70 triliun karena kasus kebocoran data penggunanya.
“Kami sangat menghargai keputusan setiap perusahaan dan tetap fokus dalam tugas penting kami, yakni menghapus ujaran kebencian,” ujar Wakil Presiden Global Business Facebook Carolyn Everson, dikutip CNN.
Facebook berupaya berdiskusi dengan berbagai organisasi dalam menangkal isu ini secara bersama-sama. Namun, apakah upaya ini bisa dilakukan dan efektif membangun kepercayaan lagi ke Facebook? Jika kampanye negatif ini terus bergulir hingga ranah global, bukan tidak mungkin Facebook akan masuk di ambang kehancuran.
Sebelumnya, sejumlah tokoh dunia juga mulai meninggalkan media sosial (medsos), termasuk Facebook. Banyak alasan yang melatar belakangi keputusan mereka. Namun, sebagian besar mengatakan Facebook dan Twitter sarat dengan konten kebencian dan provokasi.
Terbaru, bintang film Star Wars, Mark Hamill, menghapus akun Facebook setelah kecewa dengan kebijakan advertorial politik layanan jejaring sosial terbesar di dunia itu. Dia juga mengkritik Chief Executive Officer (CEO) Facebook Mark Zuckerberg lebih mementingkan keuntungan dibandingkan kebenaran.
Kolom advertorial Facebook, tuduh Hamill, menjadi sarang kampanye tidak sehat para politisi di Amerika Serikat (AS) menjelang kontes politik tahun ini. Dia mendesak platform yang diciptakan pada 2004 dan mulai populer di dunia pada 2008 itu mengambil tindakan demi mencegah kampanye negatif di dunia maya. Namun, Facebook mengabaikannya dan tetap mempertahankan kebijakan sebelumnya.
Pada Maret 2019, CEO Air Asia Tony Fernandez juga melakukan hal serupa. Penutupan akun bos maskapai low cost carrier (LCC) itu sebagai wujud protes atas kejadian penembakan di sebuah masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, yang menewaskan 49 orang. Pelaku melakukan aksinya dengan mengunggah video di Face book melalui live streaming. Tak hanya Facebook, Tony menghapus akun media sosialnya di platform Twitter dengan 1,3 juta pengikut. (Baca juga: Facebook Uji Integrasi Wikipedia ke Hasil Pencariannya)
Tony menilai platform yang dikenal dengan logo burung biru itu hanya menjadi tempat untuk menumpahkan kemarahan. “Media sosial telah menjadi tempat amarah,” katanya dikutip The Star. Tony kini hanya menggunakan platform Instagram dan LinkedIn.
Terkait protes Hamill, Direktur Manajer Produk Facebook Rob Leathern mengatakan, dengan absennya regulasi Facebook dan perusahaan lain bebas merancang kebijakan mereka sendiri. “Kami mendasarkan kebijakan kami pada prinsip bahwa orang-orang perlu mendengar dan melihat seperti apa calon pemimpin mereka,” bantahnya, dikutip BBC.
Langkah yang diambil Hamill hanya berselang sehari setelah mantan Kepala Keamanan Facebook Alex Stamos menguak perdebatan internal dalam mengatasi advertorial politik. Saat itu Stamos mengaku kecewa karena Facebook juga tidak memonitor kebenaran kampanye politik yang banyak dilantangkan di Facebook. “Pembatasan iklan politik akan menjadikan Facebook sebagai platform nonpartisan dan akan membantu banyak orang,” kata Stamos. (Baca juga: Diduga Hina Wapres dan Tuduh Warga Aceh PKI, 92 Akun Facebook Dilaporkan ke Polisi)
Penolakan sensor iklan politik dinilai para ahli akan menyebabkan Facebook kian rawan mendapatkan kritikan. Nahema Marchal dari Oxford Internet Institute Computational Propaganda Project menilai kepercayaan publik akan menyusut, sebab sebelumnya iklan politik menjadi senjata efektif menakut-nakuti pemilih.
Hamill dan Fernandes bukanlah satu-satunya tokoh yang menghapus akun Facebook. Banyak selebritas dan perusahaan lain yang meninggalkan layanan tersebut dengan alasan beragam. Beberapa di antaranya penyanyi Cher, pelawak WillFerrell, aktor Jim Carrey, pendiri Apple Steve Wozniak, Tesla, SpaceX, Sonos, hingga Mozilla.
Facebook memang bersikukuh tidak mau mengubah kebijakan mengenai iklan politik menjelang pemilu presiden 2020. Partai Demokrat dan kelompok aktivis mengkritik Facebook mengizinkan berita palsu beredar bebas. Tapi, CEO Facebook Mark Zuckerberg menegaskan bahwa publik memiliki hak untuk menilai apa yang dikatakan politikus. “Saya tidak pikir sebagian orang ingin tinggal di mana kamu bisa mengunggah apa pun di mana perusahaan teknologi menilai hal itu 100% benar,” kilahnya. (Lihat videonya: Bolu Gulung Motif Batik, Oleh-oleh Khas Kota Padang)
Dalam sebuah survei yang dilaksanakan Tech.pinions, perusahaan media dan teknologi menyatakan satu dari 10 orang Amerika Serikat menghapus akun Facebook mereka. Kemudian, 35% responden jarang menggunakan akun Facebook yang dimilikinya. Survei yang dilaksanakan pada 2018 terhadap 1.000 responden di AS lintas usia dan demografi juga menyimpulkan 17% responden menghapus aplikasi Facebook dari aplikasi ponsel pintar mereka. (Muh Shamil/Andika Mustaqim)
Perang terhadap Facebook antara lain dilakukan Koalisi Anti-Defamation League (ADL) dan NAACP yang meluncurkan kampanye #StopHateforProfit pada pekan lalu. Saat itu mereka mendesak perusahaan besar untuk berhenti memasang iklan di Facebook sebagai bentuk perlawanan terhadap tingginya sirkulasi berita palsu dan ujaran kebencian, terutama di AS.
Berselang beberapa hari, sejumlah perusahaan memutuskan untuk turut serta dalam kampanye #StopHateforProfit. Beberapa di antaranya Coca-Cola, Honda, dan Unilever. Disusul Upwork dan Dashlane. Starbucks, pengiklan terbesar ke enam Facebook, juga menghentikan pemasangan iklan di Facebook.
Perusahaan lain yang ikut menghentikan penayangan iklan di Facebook ialah Arc’teryx, Ben & Jerry’s, Beam Suntory, REI, Edie Bauer, Eileen Fisher, Hershey’s, The North Face, Jan Sport, Levi Strauss, Magnolia Pictures, Patagonia, dan Verizon. Sebagian dari mereka juga mencabut pemasangan iklan di Instagram. Akibat pencopotan iklan ini Facebook mendapat sentimen negatif. Harga sahamnya anjlok. Kekayaan CEO Facebook Mark Zuckerberg pun hilang sekitar 100 triliun. Meski kehilangan kekayaan sebesar itu, Mark tetap memiliki jumlah kekayaan USD82,3 miliar atau sekitar Rp1.170 triliun. (Baca: Facebook Hapus Puluhan Iklan Donald trump yang Berisi Ujaran Kebencian)
Facebook tak berdaya dengan keputusan sepihak ini. Pil pahit terpaksa harus mereka telan lagi. Tepat sekitar setahun lalu Facebook dihukum oleh Komisi Perdagangan Federal AS dengan membayar uang denda Rp70 triliun karena kasus kebocoran data penggunanya.
“Kami sangat menghargai keputusan setiap perusahaan dan tetap fokus dalam tugas penting kami, yakni menghapus ujaran kebencian,” ujar Wakil Presiden Global Business Facebook Carolyn Everson, dikutip CNN.
Facebook berupaya berdiskusi dengan berbagai organisasi dalam menangkal isu ini secara bersama-sama. Namun, apakah upaya ini bisa dilakukan dan efektif membangun kepercayaan lagi ke Facebook? Jika kampanye negatif ini terus bergulir hingga ranah global, bukan tidak mungkin Facebook akan masuk di ambang kehancuran.
Sebelumnya, sejumlah tokoh dunia juga mulai meninggalkan media sosial (medsos), termasuk Facebook. Banyak alasan yang melatar belakangi keputusan mereka. Namun, sebagian besar mengatakan Facebook dan Twitter sarat dengan konten kebencian dan provokasi.
Terbaru, bintang film Star Wars, Mark Hamill, menghapus akun Facebook setelah kecewa dengan kebijakan advertorial politik layanan jejaring sosial terbesar di dunia itu. Dia juga mengkritik Chief Executive Officer (CEO) Facebook Mark Zuckerberg lebih mementingkan keuntungan dibandingkan kebenaran.
Kolom advertorial Facebook, tuduh Hamill, menjadi sarang kampanye tidak sehat para politisi di Amerika Serikat (AS) menjelang kontes politik tahun ini. Dia mendesak platform yang diciptakan pada 2004 dan mulai populer di dunia pada 2008 itu mengambil tindakan demi mencegah kampanye negatif di dunia maya. Namun, Facebook mengabaikannya dan tetap mempertahankan kebijakan sebelumnya.
Pada Maret 2019, CEO Air Asia Tony Fernandez juga melakukan hal serupa. Penutupan akun bos maskapai low cost carrier (LCC) itu sebagai wujud protes atas kejadian penembakan di sebuah masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, yang menewaskan 49 orang. Pelaku melakukan aksinya dengan mengunggah video di Face book melalui live streaming. Tak hanya Facebook, Tony menghapus akun media sosialnya di platform Twitter dengan 1,3 juta pengikut. (Baca juga: Facebook Uji Integrasi Wikipedia ke Hasil Pencariannya)
Tony menilai platform yang dikenal dengan logo burung biru itu hanya menjadi tempat untuk menumpahkan kemarahan. “Media sosial telah menjadi tempat amarah,” katanya dikutip The Star. Tony kini hanya menggunakan platform Instagram dan LinkedIn.
Terkait protes Hamill, Direktur Manajer Produk Facebook Rob Leathern mengatakan, dengan absennya regulasi Facebook dan perusahaan lain bebas merancang kebijakan mereka sendiri. “Kami mendasarkan kebijakan kami pada prinsip bahwa orang-orang perlu mendengar dan melihat seperti apa calon pemimpin mereka,” bantahnya, dikutip BBC.
Langkah yang diambil Hamill hanya berselang sehari setelah mantan Kepala Keamanan Facebook Alex Stamos menguak perdebatan internal dalam mengatasi advertorial politik. Saat itu Stamos mengaku kecewa karena Facebook juga tidak memonitor kebenaran kampanye politik yang banyak dilantangkan di Facebook. “Pembatasan iklan politik akan menjadikan Facebook sebagai platform nonpartisan dan akan membantu banyak orang,” kata Stamos. (Baca juga: Diduga Hina Wapres dan Tuduh Warga Aceh PKI, 92 Akun Facebook Dilaporkan ke Polisi)
Penolakan sensor iklan politik dinilai para ahli akan menyebabkan Facebook kian rawan mendapatkan kritikan. Nahema Marchal dari Oxford Internet Institute Computational Propaganda Project menilai kepercayaan publik akan menyusut, sebab sebelumnya iklan politik menjadi senjata efektif menakut-nakuti pemilih.
Hamill dan Fernandes bukanlah satu-satunya tokoh yang menghapus akun Facebook. Banyak selebritas dan perusahaan lain yang meninggalkan layanan tersebut dengan alasan beragam. Beberapa di antaranya penyanyi Cher, pelawak WillFerrell, aktor Jim Carrey, pendiri Apple Steve Wozniak, Tesla, SpaceX, Sonos, hingga Mozilla.
Facebook memang bersikukuh tidak mau mengubah kebijakan mengenai iklan politik menjelang pemilu presiden 2020. Partai Demokrat dan kelompok aktivis mengkritik Facebook mengizinkan berita palsu beredar bebas. Tapi, CEO Facebook Mark Zuckerberg menegaskan bahwa publik memiliki hak untuk menilai apa yang dikatakan politikus. “Saya tidak pikir sebagian orang ingin tinggal di mana kamu bisa mengunggah apa pun di mana perusahaan teknologi menilai hal itu 100% benar,” kilahnya. (Lihat videonya: Bolu Gulung Motif Batik, Oleh-oleh Khas Kota Padang)
Dalam sebuah survei yang dilaksanakan Tech.pinions, perusahaan media dan teknologi menyatakan satu dari 10 orang Amerika Serikat menghapus akun Facebook mereka. Kemudian, 35% responden jarang menggunakan akun Facebook yang dimilikinya. Survei yang dilaksanakan pada 2018 terhadap 1.000 responden di AS lintas usia dan demografi juga menyimpulkan 17% responden menghapus aplikasi Facebook dari aplikasi ponsel pintar mereka. (Muh Shamil/Andika Mustaqim)
(ysw)