Google Bayar Konten Berita

Senin, 03 Agustus 2020 - 06:10 WIB
loading...
Google Bayar Konten Berita
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Perusahaan media di dunia mendapat “angin segar”. Tuntutan mereka kepada Google agar membayar atas berita-berita yang terindeks di mesin pencari dikabulkan. Kolaborasi ini menjadi langkah strategis dalam penguatan konten informasi di era teknologi digital.

Kesepakatan awal dengan Google ini antara lain dilakukan perusahaan-perusahaan media di Brasil, Prancis, Jerman, dan Australia. Selain dari inisiatif perusahaan, Pemerintah Australia pekan lalu secara resmi bahkan meminta Google dan Facebook untuk membayar atas konten yang dipasang di media sosial. Keseriusan Australia diwujudkan dalam bentuk perumusan undang-undang (UU). Indonesia patut mengadopsi langkah Australia ini demi memberikan perlindungan terhadap perusahaan media.

Langkah Google yang akhirnya bersedia mengabulkan tuntutan perusahaan media di Australia, Jerman, dan Brasil tersebut disampaikan secara resmi pada Jumat (31/7/2020). Google berjanji akan membuka kerja sama serupa dengan perusahaan lain di berbagai negara. “Hari ini kami mengumumkan skema lisensi yang membayar penerbit untuk konten berkualitas tinggi, yang secara resmi peluncurannya pada akhir tahun ini,” ungkap Wakil Presiden Google untuk Berita Brad Bender. (Baca: Pengamat Minta RI Tiru Australia Paksa Google dan Facebook Bayar Konten Berita)

Produk berita Google yang akan diluncurkan akhir tahun tersebut akan muncul di Google News dan Explore. Bender mengungkapkan, untuk artikel berbayar di situs web penerbit mitra, perusahaan akan menggratiskan bagi pengguna.

Sementara di Indonesia, kerja sama pemanfaatan atas konten media di platform digital ini masih terus dimatangkan. Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, pembayaran konten dari media oleh platform digital bergantung pada negosiasi dua belah pihak.

Dorongan perusahaan media ini wajar karena selama ini ada praktik yang tidak fair dari pemanfaatan konten media oleh Google dan Facebook. Platform digital ini mendapatkan konten berita secara gratis dan sekaligus mendapatkan data pengguna media. Namun, ketika media menginginkan data perilaku pengguna itu, justru harus membayar.

Menurut Agus, ada tiga pokok bahasan timbal balik atas pemanfaatan konten media oleh Google, yakni sharing konten, revenue, dan data. Tiga hal itu harus berjalan paralel. Saat Google mendapatkan iklan dari pemanfaatan konten misalnya, maka pendapatannya dibagi dua atau secara adil. Bisa sharing konten, bisa juga dibarter dengan data. (Baca juga: Masih Hapus Palestina di Peta, Google dan Apple Terus Dicecar Warganet)

Saat ini Dewan Pers masih melakukan pembicaraan dengan stakeholder untuk mencari skema yang tepat. Agus mengungkapkan, tidak semua platform digital yakni search engine, news aggregator, dan media sosial merugikan penerbit. “Itu ada yang menguntungkan karena publisher memiliki metode terbaru untuk menyebarkan kontennya,” terangnya.

Pengamat teknologi informasi (TI) Heru Sutadi mengatakan, platform digital yang menyediakan fasilitas search engine sudah semestinya harus membayar hak cipta konten yang dimiliki penerbit atau perusahaan media. “Untuk fasilitas searching, tentu hak ciptanya dimiliki penyedia konten. Google hanya menyediakan link. Kalau untuk berita yang digunakan mereka itu wajib membayar royalti kepada media asal konten,” ungkapnya.

Sayangnya, keinginan penerbit atau perusahaan media di Indonesia sepertinya tidak akan mudah. Peraturan yang ada saat ini belum menjangkau kewajiban Google dan kawan-kawan. “Payung hukum belum memadai. Bahkan tidak ada soal bagi-membagi atau membayar konten,” ucapnya.

Situasi ini tentu tidak menguntungkan perusahaan media yang berharap pembayaran hak cipta dari kontennya. Kondisi serupa dihadapi pemerintah yang kewalahan mengejar pajak perusahaan-perusahaan over the top yang beroperasi di Indonesia. Kenyataannya, platform itu bisa digunakan bebas oleh masyarakat, tapi perusahaannya tidak berada di Tanah Air.

Pemerintah, menurutnya, harus memaksa perusahaan-perusahaan over the top itu mendirikan badan usaha tetap (BUT) di Indonesia. Pengejaran pajak ini memang rumit. Permasalahan utamanya, para pemain asing ini sudah telanjur memberikan layanan dan memiliki banyak pengguna. “Jika akan menerapkan sanksi agak sulit karena kita diadu domba dengan pemakai layanan,” jelasnya. (Baca juga: Begini Cara Menggunakan Google Classroom untuk Guru)

Australia Siapkan Regulasi

Berbeda dengan Indonesia, pekan lalu Pemerintah Australia membuat draf legislasi khusus yang mengatur penayangan konten berita oleh Google maupun Facebook. Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg mengatakan, Australia akan menjadi negara pertama di dunia yang meminta Facebook dan Google untuk membayar konten berita yang disediakan perusahaan media dengan sistem royalti. Legislasi itu akan diterapkan pada tahun ini.

“Ini merupakan keadilan bagi bisnis media Australia. Ini tentang menjamin bahwa kita meningkatkan kompetisi, meningkatkan perlindungan konsumen, dan menjaga landscape media yang berkelanjutan,” kata Frydenberg, dilansir Reuters.

Mengenai penyelidikan pasar media dan kekuasaan platform perusahaan teknologi AS itu, Australia tahun lalu meminta Facebook dan Google untuk bernegosiasi sukarela dengan perusahaan media untuk penggunaan konten. Tapi, belum ada kesepakatan yang dicapai. Australia pun mengancam jika kesepakatan tidak dicapai melalui arbitrase dalam waktu 45 hari, Otoritas Media dan Komunikasi Australia akan mengajukan gugatan hukum mewakili pemerintah. (Baca juga: Cerita Kurban Artis, dari Sewa Lapangan Khusus hingnga Gelar Rapid Tes)

Perusahaan media termasuk News Corp Australia memang terus melobi pemerintah untuk menekan perusahaan-perusahaan AS agar bernegosiasi di tengah penurunan iklan akibat pandemi virus korona. “Ketika negara lain berbicara tentang ketidakadilan perusahaan teknologi dan perilaku yang merusak, Pemerintah Australia telah bertindak lebih dahulu,” kata Executive Chairman News Corp Michael Miller.

Hal senada diungkapkan Nine, perusahaan media mainstream di Australia yang juga memiliki The Sydney Morning Herald dan edisi lokal Business Insider. Mereka menyambut positif keputusan pemerintah tersebut. “Kita perlu regulasi untuk mengatasi ketidakseimbangan tawar-menawar antara organisasi media Australia dan platform digital global yang dominan,” demikian keterangan Nine.

Komisi Konsumen dan Kompetisi Australia (ACCC) mengungkapkan, Australia telah merilis draf legislasi yang menunjukkan media bisa menawar baik secara individu atau kolektif dengan Facebook dan Google . Legislasi itu juga akan masuk dalam tahap konsultasi publik setelah difinalisasi dan dibahas di parlemen untuk menentukan apakah anggota parlemen mendukung atau tidak.

Khusus di Australia, legislasi itu telah didiskusikan selama beberapa bulan. Sebelum dirilis, draf tersebut telah dikonsultasikan dengan Google, Facebook, dan beberapa media utama. Keluhan perusahaan media menyebutkan platform seperti Google dan Facebook tidak memberikan keuntungan bagi mereka. Diakui Frydenberg, proposal legislasi itu diamati banyak pihak di seluruh dunia. “Australia memang bergerak terdepan,” katanya.

Untuk saat ini hanya Google dan Facebook yang menjadi subjek regulasi baru tersebut. Tapi, platform digital lain juga akan ditambahkan di masa depan. (Baca juga: Besok Transjakarta Tambah 155 Bus)

Facebook dan Google memang telah lama berseteru dengan media mainstream tentang bagaimana mereka menampilkan konten berita. Media tradisional tetap meminta perusahaan teknologi itu untuk membayar konten. Namun, Google mengungkapkan, regulasi tersebut mengabaikan “miliaran klik” bagi media mainstream Australia setiap tahunnya. Google juga mengecam kebijakan tersebut karena regulasi itu tidak memberikan dorongan inovasi di sektor media.

“Ini mengirimkan pesan penting bagi pengusaha dan investor bahwa Pemerintah Australia akan mengintervensi,” ujar Direktur Pelaksana Google Australia dan Selandia Baru Mel Silva.

Silva mengungkapkan, intervensi tersebut bukan memecahkan tantangan fundamental untuk menciptakan model bisnis yang cocok di abad digital. “Intervensi berat pemerintah itu mengancam ekonomi digital Australia dan berdampak pada pelayanan bagi rakyat Australia,”katanya. (Lihat videonya: Satu Keluarga Makan Bersama di Bahu Tol Cipali Viral di Medsos)

Sedangkan Direktur Pelaksana Facebook di Australia dan Selandia Baru Will Easton mengatakan, timnya sedang mengkaji proposal pemerintah tersebut dan memahami dampaknya pada industri. Kasus pembayaran berita oleh platform digital sebenarnya telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Namun, sebagian tidak melibatkan regulasi pemerintah. (Andika H Mustaqim/F.W.Bahtiar)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3356 seconds (0.1#10.140)