Tiada Akhir Buat Roda Empat
A
A
A
JAKARTA - Membaiknya infrastruktur dan sistem transportasi umum diyakini akan mengurangi animo masyarakat dalam membeli kendaraan roda empat.
Hanya saja, pihak penjual mobil justru memprediksi hal sebaliknya, mengapa? Indonesia terus memperbaiki infrastruktur dan sistem transportasi umum. Lihat saja di DKI Jakarta dengan setiap sudut wilayah Ibu Kota Indonesia tersebut terus membangun berbagai sistem transportasi umum mulai dari Mass Rapid Transportation (MRT), Light Rapid Transportation (LRT), hingga perbaikan kualitas bus Transjakarta.
Seiring membaiknya infrastruktur dan sistem transportasi umum, timbul prediksi bahwa masyarakat akan mulai memalingkan muka dari kendaraan roda empat.
Benarkah? “Saya rasa justru sebaliknya, masyarakat tidak akan meninggalkan kendaraan roda empat,” ujar Ryohei Uchiki, General Manager Strategic Planning Department PT Suzuki Indomobil Motor kepada Koran SINDO beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, sistem transportasi dan infrastruktur yang baik justru akan meningkatkan kuantitas masyarakat menengah. Masyarakat akan jadi lebih bergairah dalam bekerja sehingga kemampuan daya beli mereka meningkat.
Kemampuan daya beli yang meningkat itu justru nanti akan berimbas pada berbagai kebutuhan tersier seperti mobil dan perumahan. Tidak bisa dimungkiri juga masyarakat kelas menengah di Indonesia sangat terpengaruh dengan kebutuhan tersier sebagai prestise mereka.
“Mereka tetap menggunakan transportasi umum, hanya saja mereka tetap akan membeli mobil,” kata Ryohei Uchiki.
Tri Mulyono, Marketing Planning & Sales Operation Departemen Head PT Astra International Daihatsu Sales Operation mengatakan, masyarakat akan tetap membeli mobil namun penggunaannya akan jadi lebih selektif.
Untuk mendukung aktivitas sehari-hari mereka, masyarakat akan tetap menggunakan sistem transportasi umum. Namun, ketika pada akhir pekan, masyarakat diprediksi lebih memilih menggunakan kendaraan roda empat pribadi.
“Di negara-negara maju, seperti Jepang dan Singapura saja, penjualan mobil tetap ada, meskipun sarana transportasi umum mereka sudah sangat maju,” katanya. Memang terbukti di Jepang pada 2017 lalu penjualan mobil mereka justru mencapai 5.234.166 unit.
Angka penjualan ini justru meningkat 5,3% dari penjualan tahun 2016. Diketahui, pada 2016 penjualan mobil di Jepang mencapai 4.970.256. Pencapaian ini didorong tingginya penjualan mobil berukuran kompak atau Kei Car yang sangat fungsional bagi masyarakat Jepang.
Contoh lain Singapura yang justru dihadapi masalah pelik karena terus meningkatnya kepemilikan mobil di Negeri Jiran tersebut. Meski sistem dan sarana transportasi publik mereka sangat modern dan rapi, tapi masyarakat Singapura malah masih membeli mobil.
Padahal Singapura sedikit mempersulit kepemilikan mobil baru. Warga Singapura yang ingin membeli mobil harus memiliki izin yang dinamakan Certificates of Entitlement. Lisensi yang hanya berlaku selama 10 tahun tersebut dihargai sesuai kategori.
Untuk mobil kecil, calon pemilik harus membayar sejumlah uang sebesar USD41,617 atau hampir Rp600.000 agar memperoleh izin. Jumlah tersebut bisa lebih mahal lagi menyesuaikan mobil yang dibeli. Uniknya kepemilikan mobil baru justru terus meningkat di Negeri Singa tersebut.
Sampai-sampai Pemerintah Singapura berencana menghentikan izin kepemilikan mobil baru di negara tersebut mulai Maret nanti. Tentu ini dilakukan karena lahan yang dimiliki Singapura benar-benar terbatas sehingga perlu ada pembatasan jumlah kendaraan. Sebaliknya, jika wilayah itu memungkinkan bisa saja jumlah kendaraan roda empat di Singapura malah terus bertambah.
“Penggunaannya saja yang semakin lebih selektif,” kata Tri Mulyono soal populasi mobil di Singapura. Jadi, sepertinya tidak akan ada kiamat untuk roda empat meski transportasi umum sudah semakin membaik. (Wahyu Sibarani)
Hanya saja, pihak penjual mobil justru memprediksi hal sebaliknya, mengapa? Indonesia terus memperbaiki infrastruktur dan sistem transportasi umum. Lihat saja di DKI Jakarta dengan setiap sudut wilayah Ibu Kota Indonesia tersebut terus membangun berbagai sistem transportasi umum mulai dari Mass Rapid Transportation (MRT), Light Rapid Transportation (LRT), hingga perbaikan kualitas bus Transjakarta.
Seiring membaiknya infrastruktur dan sistem transportasi umum, timbul prediksi bahwa masyarakat akan mulai memalingkan muka dari kendaraan roda empat.
Benarkah? “Saya rasa justru sebaliknya, masyarakat tidak akan meninggalkan kendaraan roda empat,” ujar Ryohei Uchiki, General Manager Strategic Planning Department PT Suzuki Indomobil Motor kepada Koran SINDO beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, sistem transportasi dan infrastruktur yang baik justru akan meningkatkan kuantitas masyarakat menengah. Masyarakat akan jadi lebih bergairah dalam bekerja sehingga kemampuan daya beli mereka meningkat.
Kemampuan daya beli yang meningkat itu justru nanti akan berimbas pada berbagai kebutuhan tersier seperti mobil dan perumahan. Tidak bisa dimungkiri juga masyarakat kelas menengah di Indonesia sangat terpengaruh dengan kebutuhan tersier sebagai prestise mereka.
“Mereka tetap menggunakan transportasi umum, hanya saja mereka tetap akan membeli mobil,” kata Ryohei Uchiki.
Tri Mulyono, Marketing Planning & Sales Operation Departemen Head PT Astra International Daihatsu Sales Operation mengatakan, masyarakat akan tetap membeli mobil namun penggunaannya akan jadi lebih selektif.
Untuk mendukung aktivitas sehari-hari mereka, masyarakat akan tetap menggunakan sistem transportasi umum. Namun, ketika pada akhir pekan, masyarakat diprediksi lebih memilih menggunakan kendaraan roda empat pribadi.
“Di negara-negara maju, seperti Jepang dan Singapura saja, penjualan mobil tetap ada, meskipun sarana transportasi umum mereka sudah sangat maju,” katanya. Memang terbukti di Jepang pada 2017 lalu penjualan mobil mereka justru mencapai 5.234.166 unit.
Angka penjualan ini justru meningkat 5,3% dari penjualan tahun 2016. Diketahui, pada 2016 penjualan mobil di Jepang mencapai 4.970.256. Pencapaian ini didorong tingginya penjualan mobil berukuran kompak atau Kei Car yang sangat fungsional bagi masyarakat Jepang.
Contoh lain Singapura yang justru dihadapi masalah pelik karena terus meningkatnya kepemilikan mobil di Negeri Jiran tersebut. Meski sistem dan sarana transportasi publik mereka sangat modern dan rapi, tapi masyarakat Singapura malah masih membeli mobil.
Padahal Singapura sedikit mempersulit kepemilikan mobil baru. Warga Singapura yang ingin membeli mobil harus memiliki izin yang dinamakan Certificates of Entitlement. Lisensi yang hanya berlaku selama 10 tahun tersebut dihargai sesuai kategori.
Untuk mobil kecil, calon pemilik harus membayar sejumlah uang sebesar USD41,617 atau hampir Rp600.000 agar memperoleh izin. Jumlah tersebut bisa lebih mahal lagi menyesuaikan mobil yang dibeli. Uniknya kepemilikan mobil baru justru terus meningkat di Negeri Singa tersebut.
Sampai-sampai Pemerintah Singapura berencana menghentikan izin kepemilikan mobil baru di negara tersebut mulai Maret nanti. Tentu ini dilakukan karena lahan yang dimiliki Singapura benar-benar terbatas sehingga perlu ada pembatasan jumlah kendaraan. Sebaliknya, jika wilayah itu memungkinkan bisa saja jumlah kendaraan roda empat di Singapura malah terus bertambah.
“Penggunaannya saja yang semakin lebih selektif,” kata Tri Mulyono soal populasi mobil di Singapura. Jadi, sepertinya tidak akan ada kiamat untuk roda empat meski transportasi umum sudah semakin membaik. (Wahyu Sibarani)
(nfl)