Google Bayar Konten Berita
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perusahaan media di dunia mendapat “angin segar”. Tuntutan mereka kepada Google agar membayar atas berita-berita yang terindeks di mesin pencari dikabulkan. Kolaborasi ini menjadi langkah strategis dalam penguatan konten informasi di era teknologi digital.
Kesepakatan awal dengan Google ini antara lain dilakukan perusahaan-perusahaan media di Brasil, Prancis, Jerman, dan Australia. Selain dari inisiatif perusahaan, Pemerintah Australia pekan lalu secara resmi bahkan meminta Google dan Facebook untuk membayar atas konten yang dipasang di media sosial. Keseriusan Australia diwujudkan dalam bentuk perumusan undang-undang (UU). Indonesia patut mengadopsi langkah Australia ini demi memberikan perlindungan terhadap perusahaan media.
Langkah Google yang akhirnya bersedia mengabulkan tuntutan perusahaan media di Australia, Jerman, dan Brasil tersebut disampaikan secara resmi pada Jumat (31/7/2020). Google berjanji akan membuka kerja sama serupa dengan perusahaan lain di berbagai negara. “Hari ini kami mengumumkan skema lisensi yang membayar penerbit untuk konten berkualitas tinggi, yang secara resmi peluncurannya pada akhir tahun ini,” ungkap Wakil Presiden Google untuk Berita Brad Bender. (Baca: Pengamat Minta RI Tiru Australia Paksa Google dan Facebook Bayar Konten Berita)
Produk berita Google yang akan diluncurkan akhir tahun tersebut akan muncul di Google News dan Explore. Bender mengungkapkan, untuk artikel berbayar di situs web penerbit mitra, perusahaan akan menggratiskan bagi pengguna.
Sementara di Indonesia, kerja sama pemanfaatan atas konten media di platform digital ini masih terus dimatangkan. Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, pembayaran konten dari media oleh platform digital bergantung pada negosiasi dua belah pihak.
Dorongan perusahaan media ini wajar karena selama ini ada praktik yang tidak fair dari pemanfaatan konten media oleh Google dan Facebook. Platform digital ini mendapatkan konten berita secara gratis dan sekaligus mendapatkan data pengguna media. Namun, ketika media menginginkan data perilaku pengguna itu, justru harus membayar.
Menurut Agus, ada tiga pokok bahasan timbal balik atas pemanfaatan konten media oleh Google, yakni sharing konten, revenue, dan data. Tiga hal itu harus berjalan paralel. Saat Google mendapatkan iklan dari pemanfaatan konten misalnya, maka pendapatannya dibagi dua atau secara adil. Bisa sharing konten, bisa juga dibarter dengan data. (Baca juga: Masih Hapus Palestina di Peta, Google dan Apple Terus Dicecar Warganet)
Saat ini Dewan Pers masih melakukan pembicaraan dengan stakeholder untuk mencari skema yang tepat. Agus mengungkapkan, tidak semua platform digital yakni search engine, news aggregator, dan media sosial merugikan penerbit. “Itu ada yang menguntungkan karena publisher memiliki metode terbaru untuk menyebarkan kontennya,” terangnya.
Pengamat teknologi informasi (TI) Heru Sutadi mengatakan, platform digital yang menyediakan fasilitas search engine sudah semestinya harus membayar hak cipta konten yang dimiliki penerbit atau perusahaan media. “Untuk fasilitas searching, tentu hak ciptanya dimiliki penyedia konten. Google hanya menyediakan link. Kalau untuk berita yang digunakan mereka itu wajib membayar royalti kepada media asal konten,” ungkapnya.
Sayangnya, keinginan penerbit atau perusahaan media di Indonesia sepertinya tidak akan mudah. Peraturan yang ada saat ini belum menjangkau kewajiban Google dan kawan-kawan. “Payung hukum belum memadai. Bahkan tidak ada soal bagi-membagi atau membayar konten,” ucapnya.
Kesepakatan awal dengan Google ini antara lain dilakukan perusahaan-perusahaan media di Brasil, Prancis, Jerman, dan Australia. Selain dari inisiatif perusahaan, Pemerintah Australia pekan lalu secara resmi bahkan meminta Google dan Facebook untuk membayar atas konten yang dipasang di media sosial. Keseriusan Australia diwujudkan dalam bentuk perumusan undang-undang (UU). Indonesia patut mengadopsi langkah Australia ini demi memberikan perlindungan terhadap perusahaan media.
Langkah Google yang akhirnya bersedia mengabulkan tuntutan perusahaan media di Australia, Jerman, dan Brasil tersebut disampaikan secara resmi pada Jumat (31/7/2020). Google berjanji akan membuka kerja sama serupa dengan perusahaan lain di berbagai negara. “Hari ini kami mengumumkan skema lisensi yang membayar penerbit untuk konten berkualitas tinggi, yang secara resmi peluncurannya pada akhir tahun ini,” ungkap Wakil Presiden Google untuk Berita Brad Bender. (Baca: Pengamat Minta RI Tiru Australia Paksa Google dan Facebook Bayar Konten Berita)
Produk berita Google yang akan diluncurkan akhir tahun tersebut akan muncul di Google News dan Explore. Bender mengungkapkan, untuk artikel berbayar di situs web penerbit mitra, perusahaan akan menggratiskan bagi pengguna.
Sementara di Indonesia, kerja sama pemanfaatan atas konten media di platform digital ini masih terus dimatangkan. Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, pembayaran konten dari media oleh platform digital bergantung pada negosiasi dua belah pihak.
Dorongan perusahaan media ini wajar karena selama ini ada praktik yang tidak fair dari pemanfaatan konten media oleh Google dan Facebook. Platform digital ini mendapatkan konten berita secara gratis dan sekaligus mendapatkan data pengguna media. Namun, ketika media menginginkan data perilaku pengguna itu, justru harus membayar.
Menurut Agus, ada tiga pokok bahasan timbal balik atas pemanfaatan konten media oleh Google, yakni sharing konten, revenue, dan data. Tiga hal itu harus berjalan paralel. Saat Google mendapatkan iklan dari pemanfaatan konten misalnya, maka pendapatannya dibagi dua atau secara adil. Bisa sharing konten, bisa juga dibarter dengan data. (Baca juga: Masih Hapus Palestina di Peta, Google dan Apple Terus Dicecar Warganet)
Saat ini Dewan Pers masih melakukan pembicaraan dengan stakeholder untuk mencari skema yang tepat. Agus mengungkapkan, tidak semua platform digital yakni search engine, news aggregator, dan media sosial merugikan penerbit. “Itu ada yang menguntungkan karena publisher memiliki metode terbaru untuk menyebarkan kontennya,” terangnya.
Pengamat teknologi informasi (TI) Heru Sutadi mengatakan, platform digital yang menyediakan fasilitas search engine sudah semestinya harus membayar hak cipta konten yang dimiliki penerbit atau perusahaan media. “Untuk fasilitas searching, tentu hak ciptanya dimiliki penyedia konten. Google hanya menyediakan link. Kalau untuk berita yang digunakan mereka itu wajib membayar royalti kepada media asal konten,” ungkapnya.
Sayangnya, keinginan penerbit atau perusahaan media di Indonesia sepertinya tidak akan mudah. Peraturan yang ada saat ini belum menjangkau kewajiban Google dan kawan-kawan. “Payung hukum belum memadai. Bahkan tidak ada soal bagi-membagi atau membayar konten,” ucapnya.