Google Bayar Konten Berita

Senin, 03 Agustus 2020 - 06:10 WIB
loading...
A A A
Situasi ini tentu tidak menguntungkan perusahaan media yang berharap pembayaran hak cipta dari kontennya. Kondisi serupa dihadapi pemerintah yang kewalahan mengejar pajak perusahaan-perusahaan over the top yang beroperasi di Indonesia. Kenyataannya, platform itu bisa digunakan bebas oleh masyarakat, tapi perusahaannya tidak berada di Tanah Air.

Pemerintah, menurutnya, harus memaksa perusahaan-perusahaan over the top itu mendirikan badan usaha tetap (BUT) di Indonesia. Pengejaran pajak ini memang rumit. Permasalahan utamanya, para pemain asing ini sudah telanjur memberikan layanan dan memiliki banyak pengguna. “Jika akan menerapkan sanksi agak sulit karena kita diadu domba dengan pemakai layanan,” jelasnya. (Baca juga: Begini Cara Menggunakan Google Classroom untuk Guru)

Australia Siapkan Regulasi

Berbeda dengan Indonesia, pekan lalu Pemerintah Australia membuat draf legislasi khusus yang mengatur penayangan konten berita oleh Google maupun Facebook. Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg mengatakan, Australia akan menjadi negara pertama di dunia yang meminta Facebook dan Google untuk membayar konten berita yang disediakan perusahaan media dengan sistem royalti. Legislasi itu akan diterapkan pada tahun ini.

“Ini merupakan keadilan bagi bisnis media Australia. Ini tentang menjamin bahwa kita meningkatkan kompetisi, meningkatkan perlindungan konsumen, dan menjaga landscape media yang berkelanjutan,” kata Frydenberg, dilansir Reuters.

Mengenai penyelidikan pasar media dan kekuasaan platform perusahaan teknologi AS itu, Australia tahun lalu meminta Facebook dan Google untuk bernegosiasi sukarela dengan perusahaan media untuk penggunaan konten. Tapi, belum ada kesepakatan yang dicapai. Australia pun mengancam jika kesepakatan tidak dicapai melalui arbitrase dalam waktu 45 hari, Otoritas Media dan Komunikasi Australia akan mengajukan gugatan hukum mewakili pemerintah. (Baca juga: Cerita Kurban Artis, dari Sewa Lapangan Khusus hingnga Gelar Rapid Tes)

Perusahaan media termasuk News Corp Australia memang terus melobi pemerintah untuk menekan perusahaan-perusahaan AS agar bernegosiasi di tengah penurunan iklan akibat pandemi virus korona. “Ketika negara lain berbicara tentang ketidakadilan perusahaan teknologi dan perilaku yang merusak, Pemerintah Australia telah bertindak lebih dahulu,” kata Executive Chairman News Corp Michael Miller.

Hal senada diungkapkan Nine, perusahaan media mainstream di Australia yang juga memiliki The Sydney Morning Herald dan edisi lokal Business Insider. Mereka menyambut positif keputusan pemerintah tersebut. “Kita perlu regulasi untuk mengatasi ketidakseimbangan tawar-menawar antara organisasi media Australia dan platform digital global yang dominan,” demikian keterangan Nine.

Komisi Konsumen dan Kompetisi Australia (ACCC) mengungkapkan, Australia telah merilis draf legislasi yang menunjukkan media bisa menawar baik secara individu atau kolektif dengan Facebook dan Google . Legislasi itu juga akan masuk dalam tahap konsultasi publik setelah difinalisasi dan dibahas di parlemen untuk menentukan apakah anggota parlemen mendukung atau tidak.

Khusus di Australia, legislasi itu telah didiskusikan selama beberapa bulan. Sebelum dirilis, draf tersebut telah dikonsultasikan dengan Google, Facebook, dan beberapa media utama. Keluhan perusahaan media menyebutkan platform seperti Google dan Facebook tidak memberikan keuntungan bagi mereka. Diakui Frydenberg, proposal legislasi itu diamati banyak pihak di seluruh dunia. “Australia memang bergerak terdepan,” katanya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2585 seconds (0.1#10.140)